"BUMI TIDAK MEMERLUKAN BANYAK ORANG PINTAR, BUMI LEBIH MEMBUTUHKAN LEBIH BANYAK HATI YANG INDAH" - Terima Kasih Sudah Berkunjung, Jangan Lupa BACA dan BERKOMENTAR !

Sabtu, 03 Juni 2017

Hanya Teori Belaka

Dunia ini memang selalu menghadirkan dua sisi pemandangan yang kontras. Baik - buruk, benar - salah, kaya - miskin dan banyak lagi. Ditolak pun pemandangan dua sisi ini tetap saja subur tersemaikan disetiap tempat berkumpulnya antara manusia.

Seperti juga kekontrasan dalam diri, seperti ketakutan dan keberanian yang tidak pernah berhenti muncul silih berganti. Tak ada bedanya gaya jalan zig-zag yang tak pernah membawa pengendara berada dalam posisi tengah yang stabil. Namun lucunya, yang sedang berjalan zig-zag pun tak berhenti menasihati orang jalan zig-zag lainnya agar berjalan lurus dan normal.

Coba perhatikan dengan cermat dan jujur, mengapa permasalahan (kontra) kerap muncul bahkan sudah menjadi hiasan pada setiap hari kehidupan, seperti orang-orang miskin ingin kaya? atau orang-orang kecil ingin menjadi orang besar? lalu perhatikan juga, mengapa beberapa orang menjauh dari kumpulannya?

Seseorang tidak akan membutuhkan kekayaan, tidak membutuhkan uang lebih jika saja kekayaan yang beberapa orang bijak jelaskan bahwa kekayaan tidak penting, hidup harus apa adanya dan sebagainya yang bijak-bijak. Tetapi pada kenyataannya keadaan miskin selalu mempersulit. Karena kemiskinan seseorang disalahkan akibat dirasakan tidak memiliki kemampuan, tidak hebat dan semacamnya.

Marilah jujur! Pertanyaannya adalah, lalu yang manakah yang benar? dan apa tujuan hidup yang sesungguhnya? jika baik, benar dan kaya yang orang bijak katakan itu tidaklah penting namun pada kehidupan nyata itu sangatlah penting karena dapat berpengaruh pada pandangan seseorang pada orang lainnya.

Mengapa kita tak pernah mendapat antara jawaban dan kenyataan, bahkan selalu kontras. Bolehkah semua ini kita sebut kemunafikan? Bolehkah semua ini kita sebut hanya teori?

Oleh: Komang Gora

Jumat, 02 Juni 2017

Jejak-jejak Makna VII

Di Prancis Selatan dan Spanyol Utara para arkeolog menemukan gua-gua tua yang berumur puluhan ribu tahun. Di sana terpampang ukiran-ukiran tua tentang pahlawan-pahlawan pemberani lengkap dengan binatang buas hasil buruan mereka. Lewat peninggalan ini terlihat jelas, sudah puluhan ribu tahun manusia mengidentikkan tokoh (pahlawan) sebagai orang yang bertumbuh di tengah kekerasan. Belakangan ini diperparah oleh sejarah agama-agama yang penuh kekerasan, negara-negara berkuasa yang mendapat untung besar melalui penjualan senjata. Ujungnya, sejarah bertumbuh dari satu kekerasan menuju kekerasan yang lain.
 
Sahabat-sahabat yang mata spiritualnya terbuka mengerti, keputusan presiden AS Donald Trump melarang masuk 7 warga negara yang mayoritas beragama tertentu, merubah secara sangat drastis perimbangan energi di muka bumi. Kekerasan yang diharapkan dan didoakan oleh banyak pihak agar menurun, ternyata malah tambah menyentuh hati. Di tengah putaran waktu seperti ini, dunia memerlukan kembali Cahaya yang pernah memancar melalui Mahatma Gandhi. Di banyak kesempatan, pria kurus yang tidak punya rambut ini sering berpesan: “non-violence should never be used as a shield for cowardice. It is a weapon for the brave”. Tanpa kekerasan bukanlah perisainya jiwa penakut, tapi senjatanya para pemberani. Sebuah cara pandang yang sangat melawan arus. Tapi terbukti bisa mengusir tentara terkuat di dunia di tahun 1940an.

Banyak generasi baru yang bertanya penuh keraguan, apakah tanpa kekerasan cocok diterapkan di zaman ini? Tergantung roh dan spirit yang disimpan seseorang di balik tindakan tanpa kekerasan. Jika roh dan spiritnya adalah uang dan kekuasaan, sebaiknya ide tanpa kekerasan dilupakan saja. Tapi jika roh dan spiritnya adalah belas kasih (compassion) untuk mengurangi beban penderitaan dunia yang sangat menyentuh hati, jangan pernah ragu dengan ide tanpa kekerasan. Perhatikan salah satu warisan jiwa bercahaya ini: “The rishis who discovered the law of non-violence in the midst of violence were greater geniuses than Newton. They were themselves greater warrior than Wellington”.

Jiwa-jiwa suci yang menemukan tanpa kekerasan di tengah zaman yang penuh kekerasan, mereka imuwan yang lebih agung dibandingkan ilmuwan mana pun, mereka pahlawan lebih agung dibandingkan pahlawan mana pun. Kesimpulannya, ikan tidak berubah menjadi ikan asin saat bertumbuh di laut yang asin. Anda juga tidak perlu berubah menjadi manusia yang tertarik dengan kekerasan, kendati tumbuh di zaman yang penuh dengan kekerasan.

Penulis: Gede Prama

Jejak-jejak Makna VI

Apa yang sesungguhnya berada di balik perilaku manusia anarkis?, itu pertanyaan banyak manusia sejak dulu. Ada yang mengkaitkannya dengan agama, ada yang mengkaitkannya dengan trauma, ada yang mengkaitkannya dengan jiwa yang miskin cahaya. Dan Anda pun boleh menambahkannya dengan daftar yang lain. Tapi setelah berjumpa ribuan sahabat yang sakit begini sakit begitu, ribuan remaja yang berpotensi untuk berbuat anarkis, di sana ada kilatan cahaya pengertian yang muncul, ternyata perasaan tidak pernah cukup menjadi kekuatan yang menentukan di balik perilaku manusia yang anarkis. Perasaan tidak cukup inilah yang membuat remaja mencari pacar, orang dewasa mencari pasangan hidup, bahkan orang dewasa yang sudah punya pasangan hidup pun ada yang selingkuh. Jangankan orang miskin, bahkan manusia sudah sangat kaya pun masih merasa jauh dari cukup.
 
Lingkungan seperti ini diperparah lagi oleh godaan iklan setiap hari. Semua iklan menggoda dengan pesan seperti ini: “Anda bisa hidup jauh lebih bahagia kalau membeli barang-jasa kami yang terbaru”. Di Barat di mana konsumerisme sudah bertumbuh jauh lebih dahulu ditemukan penemuan yang sangat menyentuh hati: “jika di negara-negara berkembang manusia tidak bisa makan karena tidak punya uang, di negara-negara maju ditemukan sejumlah manusia yang juga tidak bisa makan – jumlahnya juga terus menerus bertumbuh dari tahun ke tahun, tentu bukan karena tidak punya uang. Tapi karena hidupnya penuh ketakutan”. Di titik inilah diperlukan kehadiran pahlawan spiritual seperti Laurie Ashner dan Mitch Meyerson, yang menulis buku indah “When Is Enough, Enough?”. Kapan cukup itu terasa cukup?. Sebuah pertanyaan besar yang sangat sulit untuk dijawab.

Sebagai bahan awal untuk bertindak, cermati salah satu temuan Ashner dan Meyerson: “ketika kita menekan perasaan yang menyakitkan, kita juga kehilangan perasaan yang membahagiakan”. Teman-teman yang belajar psikologi mengerti, tumpukan perasaan-perasaan yang ditekan sejak saat kecil itulah yang mengikuti manusia seperti bayangan yang mengikuti tubuh ke mana pun ia pergi. Salah satu wajah sang bayangan yang muncul di usia dewasa atau usia tua adalah perasaan tidak pernah cukup. Terinspirasi dari sini, latih diri untuk sesedikit mungkin menekan sejak awal. Temukan sarana mengekspresikan diri secara sehat dan selamat. Entah menulis entah melukis.

Kemudian, sembuhkan jiwa dengan banyak menolong serta sesedikit mungkin menyakiti. Mengutip salah satu bagian buku Ashner dan Meyerson: “empati sejati adalah karunia yang hanya diterima oleh segelintir orang”. Dengan kata lain, tatkala Anda berempati dengan penderitaan orang lain, Anda tidak saja sedang menyembuhkan diri, tapi juga sedang membuat jiwa Anda penuh dengan karunia.

Penulis: Gede Prama

Jejak-jejak Makna V

Dalam percakapan pribadi dengan penulis buku History of God Karen Armstrong, seorang sahabat bertanya tentang latar belakang penulisan buku legendaris ini. Dengan lugas wanita Inggris ini menjawab: “konsep Tuhan dan agama sudah menjadi sumber banyak kekerasan selama ribuan tahun”. Sebuah jawaban jujur dari seorang yang menekuni perjalanan agama-agama selama ribuan tahun. Dan melihat apa yang terjadi di muka bumi beberapa tahun terakhir, layak direnungkan lagi dan lagi konsep Tuhan dan agama yang melahirkan banyak kekerasan. Sebagaimana telah dicatat sejarah, semua agama berumur sangat tua. Dalam perjalanan tua ini, tidak saja pesannya diterjemahkan dengan bahasa yang berbeda-beda, tapi juga ditafsirkan oleh kekuasaan yang berbeda-beda.
 
Dalam konteks inilah, kehadiran seorang J. Krishnamurti sangat diperlukan. Dalam mahakaryanya yang berjudul “Freedom From The Known”, terang-terangan salah satu jiwa bercahaya di zaman ini berpesan: “kebebasan kedamaian tidak bisa ditemukan dengan mengikuti sekte atau agama tertentu. Tapi dengan cara membebaskan diri dari segala bentuk pengkondisian”. Dalam psikologi, pengkondisian yang sering membuat manusia sakit adalah luka jiwa dari masa kecil. Dalam spiritualitas, pengkondisian yang sangat memenjara adalah dogma-dogma. Tatkala orang Amerika merayakan sekian tahun diruntuhkannya gedung kembar WTC di New York oleh serangan teroris, ada yang mau membakar buku suci agama tertentu. Dan itu juga sebuah dogma yang tidak saja memenjara, tapi juga akan memperpanjang daftar panjang kekerasan yang sudah panjang.

Sebagaimana api tidak bisa dipadamkan dengan api, kekerasan tidak bisa diselesaikan dengan kekerasan, dogma juga tidak bisa ditenangkan dengan menggunakan dogma yang lain. Api yang panas hanya bisa dipadamkan oleh air yang lembut. Kekerasan yang ganas hanya mungkin ditentramkan oleh kelembutan kesabaran. Dogma yang keras mungkin dinetralkan dengan kelembutan cinta kasih. Untuk itu, apa yang dibutuhkan dunia tidak lagi senjata yang baru. Namun hati yang baru. Sejenis hati yang bebas dari segala pengkondisian yang datang dari masa lalu. Krisnamurti memberi umat manusia kendaraan menuju ke sana. Kendaraannya bernama choiceless awareness.

Kesadaran yang tidak memilih. Dengan kesadaran jenis ini, pelan perlahan pikiran jadi bersih, perasaan jadi jernih. Manusia belajar tidak lagi menjadi second hand human being (baca: melihat dunia dengan mata orang lain). Untuk kemudian, melihat hari ini secara segar. Tanpa dikotori oleh segala dogma yang datang dari masa lalu. Kesimpulannya sederhana, belajar agama itu baik. Menyembah Tuhan juga baik. Tapi jangan pernah menggunakan agama dan Tuhan sebagai alasan untuk menjadi budak kekerasan dan kemarahan. Dalam bahasa Krisnamuriti, agama ada untuk membebaskan umat manusia (to set people unconditionally free).

Penulis: Guruji Gede Prama

Jejak-jejak Makna IV

Di zaman keemasan dulu, segelintir jiwa suci bisa bercakap-cakap langsung dengan Tuhan. Namun di zaman gelap ini, kalau ada yang mengaku bisa bercakap-cakap dengan Tuhan, siap-siaplah dicurigai memiliki kelainan mental. Itu sebabnya, mudah dimengerti kalau ada filsuf yang menulis: “kebenaran mirip kaca cermin yang sudah pecah. Tugas terpenting manusia adalah merangkai kembali pecahan-pecahan kaca itu”.

Dalam konteks ini, doktor fisika lulusan Universitas Vienna bernama Fritjof Capra layak diberikan apresiasi. Terutama karena beliau menghabiskan banyak waktu untuk merangkai kembali “pecahan-pecahan kaca” tadi. Dalam mahakaryanya yang berjudul The Tao of Physics, peneliti berpengalaman yang sudah meneliti energi tingkat tinggi di banyak Universitas baik di Eropa maupun Amerika ini, melakukan paralel antara fisika modern dengan mistik Timur.
 
Yang paling menyentuh hati, di bab pertama buku best-seller ini, Dr. Capra memberi judul bab terawal bukunya seperti ini: “Modern physics – A Path with a Heart”. Fisika tidak saja memperkaya kepala, tapi juga memperkaya hati. Fisika tidak saja membimbing manusia menuju kebenaran, tapi juga membimbing jiwa menuju keindahan. Fisika bisa membuat kehidupan berbahaya, bisa juga membuat jiwa bercahaya. Itu sebabnya, di bagian tertentu buku sangat indah ini, ahli fisika ini berpesan, fisika bisa membawa manusia ke salah satu arah dari 2 B: “bom atau Buddha”. Kalau manusia belajar fisika hanya menggunakan kepala, lebih-lebih kepala yang picik dan licik, maka fisika akan melahirkan bom yang membunuh. Manakala manusia belajar fisika menggunakan hati yang indah, fisika membimbing manusia berjumpa Buddha yang sangat bercahaya (baca: pencerahan).

Bukan jiwa bercahaya namanya kalau seseorang meninggikan pendapat dirinya dan merendahkan argumen orang lain. Kendati Dr. Capra sangat berjarak dengan fisika Newton yang mekanistik, sekaligus jatuh cinta dengan filosofi Timur yang holistik, di ujung buku ini beliau tidak membuang fisika mekanistik. Yang disarankan adalah “dynamic interplay” diantara keduanya. Bukan memilh antara mekanistik atau holistik, tapi bergerak dinamis diantara keduanya. Ini cocok dengan pendekatan meditasi yang menekankan choiceless awareness. Seseorang hanya menyaksikan setiap gerakan energi di dalam. Tanpa memilih. Kalau pun suatu waktu harus memilih keputusan, seseorang akan memilihnya secara jernih dan bersih. 

Warisan spiritual yang tersisa dari sini, latih diri untuk tidak kaku dengan konsep kebenaran. Jika arahnya adalah bom yang membunuh, jangankan diperintah oleh kebenaran, jika merasa diperintah oleh Tuhan pun jangan dilakukan. Ingat pesan Dr. Capra di awal: Modern physics – A path with a Heart. Fisika tidak diniatkan untuk membuat bom yang membunuh. Fisika diniatkan agar jiwa-jiwa banyak berjumpa Buddha (pencerahan). Ringkasnya, fisika khususnya dan iptek umumnya, tidak diniatkan untuk membuat perjalanan jiwa berbahaya. Tapi diniatkan agar perjalanan jiwa bercahaya.
Penulis: Gede Prama

Jejak-jejak Makna III

Sekian tahun lalu, tatkala George W. Bush masih menjadi presiden AS, beliau pernah mengunjungi Bali, serta berjumpa salah satu tokoh spiritual di Bali ketika itu. Dalam percakapan pribadi, presiden negara adi kuasa ini bertanya heran: “di suatu malam tatkala satelit NASA mengitari Nusantara, semua pulau di kawasan ini gelap. Satu-satunya pulau yang memancarkan Cahaya hanya pulau Bali. Dengan heran bapak presiden bertanya: Cahaya apa itu?”. Sebagaimana cahaya listrik yang muncul sebagai hasil sintesis negatif-positif, demikian juga Sang Cahaya. Ia akan mudah muncul di tempat-tempat di mana manusia “mensintesakan” energi negatif dengan energi positif.

Dan tetua Bali sudah lama sekali menyebut jiwa manusia dengan sebutan “dewa ya kala ya”. Artinya, ada setan sekaligus Tuhan dalam jiwa manusia. Dengan kata lain, setan tidak dipertentangkan dengan Tuhan. Melainkan disintesakan. Itu sebabnya, Bali menjadi salah satu tempat langka di dunia, di mana mahluk bawah bukannya ditakuti, bukannya dibenci, melainkan diberi suguhan. Itu bukan berarti tetua Bali menyembah setan. Sekali lagi bukan!. Tapi itu ekspresi cinta kasih yang sempurna. Tanpa kegelapan tidak ada Cahaya. Tanpa kekerasan, maka kedamaian akan kehilangan cita rasa. Mudah dipahami kalau kemudian Bali menjadi satu diantara sangat sedikit tempat di dunia di mana kekerasan teroris tidak dilawan dengan kekerasan. Tapi diikuti dengan upacara yang penuh kasih sayang. Upacara yang mendoakan keselamatan dunia.

Dalam konteks ini, tidak sulit mengerti kalau Bali menjadi satu-satunya tempat di dunia yang merayakan tahun baru dengan hari raya Nyepi. Ringkasnya, tatkala semua buruk-baik, kotor-suci, gagal-sukses membawa Cahaya makna, maka lidah mana pun akan kurang panjang untuk bisa menjelaskannya. Yang tersisa kemudian hanya kehidupan sebagai lautan senyuman. Yang perlu diendapkan oleh generasi baru, keheningan bukan kawannya ketidakpedulian. Sekali lagi bukan!.

Sebagaimana sifat alami bunga yang indah, sifat alami air yang basah, sifat alami keheningan selalu mekar dalam bentuk hati yang indah. Tidak kebetulan kalau sekian tahun setelah bom teroris meledak di Bali, seorang wanita Amerika mencari jawaban ke seluruh dunia. Ternyata jawabannya indah sekali: “makanan enak ditemukan di Italia, doa indah terdengar di India. Tapi cinta yang menyentuh hanya ditemukan di pulau Bali. Cahaya indah inilah yang ditanyakan dan dirindukan oleh mantan presiden AS George W. Bush.

Penulis: Gede Prama.

Jejak-jejak Makna II

Sejak zamannya Newton khususnya, apa yang disebut manusia sebagai realita dibatasi hanya pada hal-hal yang bisa dilihat dan dipegang. Tapi begitu muncul mekanika kuantum dan Albert Einstein, realita juga mencakup hal-hal yang tidak bisa dilihat dan tidak bisa dipegang. Salah satunya bernama energi. Dari sinilah muncul pencarian manusia yang jauh lebih dalam dari sekadar apa yang bisa dilihat mata biasa. Salah satu pilihan yang tersedia dalam hal ini adala mitologi. Mitos-mitos yang sangat tua. Ia berumur jauh lebih tua dari agama-agama.
 
Kendati di kalangan sebagian ilmuwan kata mitos sering diidentikkan dengan tahayul, atau sesuatu yang cenderung dianggap tidak benar, sebagian ilmuwan seperti Karen Armstrong menggunakan mitologi sebagai salah satu fondasi penting dalam berargumen. Dan begitu menyangkut mitologi, Joseph Campbell tidak memiliki tandingan dalam hal ini. Mahakaryanya yang berjudul The Power of Myth memiliki pengaruh yang sangat luas. Ia menyentuh pilosofi, psikologi, sejarah agama, fisika, sosiologi, antropologi. Perjalanannya sebagai ahli mitologi membuat Campbell menelusuri banyak tentang manusia yang ditokohkan (hero) di berbagai belahan dunia. Dalam beberapa hal, tokoh-tokoh ini mirip dengan konsep Tuhan di agama-agama. Yang sangat unik, di kawasan Nusantara ditemukan mitologi yang berumur sangat tua tentang Tokoh yang tanpa jenis kelamin. Alias bukan wanita bukan pria.

Pemaknaan terhadap mitos ini bisa bermacam-macam. Namun ia menjadi masukan kalau Nusantara ini dulunya adalah kawasan dengan energi yang sangat tinggi. Dalam bahasa spiritualitas mendalam, dualitas seperti wanita-pria, salah-benar, buruk-baik, membuat manusia tunduk pada hukum gravitasi (ditarik turun). Dan ketekunan untuk selalu menyaksikan melalui meditasi, sehingga bisa melampaui segala bentuk dualitas, membuat manusia bertumbuh sesuai hukum levitasi (diangkat naik).

Pekerjaan rumahnya kemudian, di zaman kita Nusantara memang ditarik turun oleh energi-energi rendah seperti kekerasan. Dan menjadi tugas roh-roh tua yang lahir di tempat ini untuk mengangkat kembali vibrasi energi tempat ini yang pernah sangat tinggi.

Penulis: Gede Prama.

Jejak-jejak Makna I

Seperti menemukan keseimbangan menaiki sepeda, tidak semua pencapaian bisa diceritakan. Sebagian pencapaian spiritual juga serupa. Ia bersifat implisit dan sulit diceritakan. Kalau pun diceritakan, mudah mengundang salah mengerti orang-orang. Di titik inilah sebuah peninggalan tua di kedalaman hutan di Peru sana akan sangat membantu. Di sebuah hutan dan danau tua yang lokasinya persis di balik pulau Bali ini, pernah ditemukan ajaran sangat tua yang bernama manuskrip Celestine. Ada sejumlah wawasan yang ditulis dalam manuskrip ini.
 
Dan yang paling menonjol dari semua wawasan yang disajikan, tidak ada kebetulan hanya bimbingan-bimbingan. Sedihnya, kebetulan-kebetulan yang penuh bimbingan ini hanya bisa dirangkai oleh jiwa-jiwa yang kaya dan berlimpah energi. Dan jiwa yang berlimpah energi di zaman ini sangat-sangat sedikit. Terutamaka karena manusia modern membocorkan banyak sekali energi melalui pikiran yang penuh permusuhan, persaingan dan penghakiman. Sebagai akibatnya, banyak manusia bernasib seperti ayam yang mati di tengah lumbung padi. Tidak sedikit manusia yang kekurangan energi di bumi yang dikelilingi berlimpah energi.

Salah satu saran sangat penting yang direkomendasikan manuskrip Celestine agar manusia terhubung rapi dengan energi, yakni melatih diri untuk melihat semuanya dari sisi-sisi yang indah. Makanya, teman-teman yang suka tertawa lebih sedikit sakit. Sahabat yang rajin bersyukur cahaya mukanya lebih terang. Kawan yang sering mengucapkan doa terimakasih, auranya lebih bercahaya. Pekerjaan rumahnya kemudian, belajar melihat setiap kekinian dari sisi-sisi yang indah. Kemudian, lihat sendiri bagaimana jiwa Anda akan semakin terhubung dengan sang energi.

Penulis: Gede Prama

Kupu-kupu Jiwa

Di Timur ada tradisi tua, kalau rumah didatangi kupu-kupu itu tanda akan datang tamu. Tidak sepenuhnya salah. Namun sulit mengingkari kalau kupu-kupu itu wakil keindahan di alam. Setiap sahabat yang peka dalam rasa mengerti, ada rahasia spiritual mendalam yang disembunyikan di balik kupu-kupu.

Sebagaimana sering dikutip di dunia pertumbuhan jiwa, sebelum menjadi kupu-kupu kepompong harus keluar dari rumahnya. Yang layak diendapkan, proses keluar dari rumah kepompong tidak saja lama tapi juga menyakitkan. Hal yang sama juga terjadi dengan pertumbuhan spiritual. Jangankan orang biasa, bahkan para suci pun harus melewati rasa sakit yang tidak kebayang.

Itu sebabnya, di Tantra mahluk tercerahkan disebut Maha Siddha. Sederhananya, seseorang yang sudah melewati cobaan, godaan, guncangan yang tidak kebayang hebatnya, kemudian mencapai alam Cahaya. Salah satu tokoh menonjol dalam hal ini adalah Jetsun Milarepa. Ia melewati proses yang berdarah-darah, sampai pernah tidak tahan hingga nyaris mau bunuh diri.

Tidak jauh berbeda dengan kupu-kupu, setelah melewati serangan dan guncangan yang maha dahsyat, mahluk tercerahkan jiwanya ringan. Masa lalu lengkap dengan rasa bersalahnya tidak lagi menjadi gendongan berat. Masa depan lengkap dengan ketidakpastiannya tidak lagi membawa ketakutan. Yang ada hanya jiwa yang ringan terbang di hari ini.

Berbeda dengan kodok yang melompat ke sana ke mari dan belum tentu ketemu yang dicari, kupu-kupu biasanya terbang terfokus menuju bunga. Kemudian menemukan madu di sana. Hal yang sama terjadi dengan mahluk tercerahkan. Itu sebabnya, salah satu kekayaan spiritual yang dicari di jalan meditasi adalah samadhi (fokus). Begitu seseorang lama istirahat melalui samadhi, di sana ada kemungkinan jiwa bisa bersayap indah.

Salah satu bagian hidup kupu-kupu yang layak diendapkan dalam-dalam, ia mengambil intisari bunga tanpa merusak keindahan bunga. Bahan renungannya, silahkan bertumbuh di bumi. Cuma jangan lupa untuk mengambil yang intisari saja (baca: cinta kasih). Bersamaan dengan itu, hati-hati jangan sampai merusak terlalu banyak.

Makanya di dunia keluarga, orang tua selalu disarankan untuk hati-hati merawat anak-anak khususnya. Jauh lebih mudah untuk hati-hati berbicara ke anak-anak, dibandingkan merawat manusia dewasa yang mentalnya terlanjur rusak. Lebih menyedihkan lagi karena itu terjadi tatkala orang tua tubuhnya sudah lemah dan lelah.

Bagian terindah kupu-kupu adalah sayapnya. Itu sebabnya, di Timur mahluk tercerahkan digambarkan memiliki sepasang sayap indah. Sayap kanannya bernama compassion (belas kasih). Sayap kirinya bernama wisdom (keheningan, kebijaksanaan).

Sebagaimana sepasang sayap kupu-kupu yang tidak bisa dipisahkan, wisdom dan compassion juga tidak bisa dipisahkan. Ia sesederhana bunga yang tidak bisa dipisahkan dengan keindahan. Sesimpel air yang tidak bisa dipisahkan dengan sifatnya yang basah.

Itu sebabnya, pesan yang paling sering terdengar di komunitas jiwa-jiwa yang dalam berbunyi seperti ini: “sebagaimana sifat alami air yang basah, sifat alami bunga yang indah, sifat alami mahluk tercerahkan memiliki hati yang indah”.

Penulis: Gede Prama

Kamis, 01 Juni 2017

Jiwa yang Mekar

Salah satu ajaran tingkat tinggi yang pernah lahir di alam ini bernama Tantra. Sebagian ajaran Tantra memang bersifat rahasia. Tapi bila semuanya dirahasiakan, suatu hari ajaran ini akan punah. Untuk itulah, sejumlah Guru seperti Osho berani membuka rahasia-rahasia Tantra.
Jika Buddha Tantra lebih dekat dengan jalan jhnana (pengetahuan) serta puncaknya bernama keheningan, Shiva Tantra lebih dekat dengan jalan bakti (devotion) serta puncaknya bernama kebersatuan. Dua-duanya bersifat saling melengkapi.
Itu sebabnya Shiva Tantra turun dari Shivaji kepada permaisurinya. Implisit dalam kisah ini berarti, ajaran ini hanya boleh diturunkan kepada murid-murid dengan bakti yang sangat dalam. Hanya dengan bakti yang mendalam maka kebersatuan bisa dicapai.
Perintah komplit Shiva Tantra berjumlah 112 bisa selengkapnya dibaca dalam maha karya Osho yang berjudul The Book of Secret. Dan tidak semua penafsiran Osho layak ditelan mentah-mentah. Terutama karena Osho mengajar dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda dengan kita.
Dalam tulisan ringkas ini akan dicoba menafsirkan tiga perintah Shiva Tantra yang cocok dengan konteks ruang dan waktu kita. Perintah pertama: “sentuh mata secara lembut, selembut bulu ayam”. Penafsirannya, hati-hati dengan cara memandang. Duka-suka, salah-benar, neraka-surga semua berawal dari cara memandang.
Yang disarankan, belajar memandang kehidupan dengan mata kelembutan. Ia yang memandang kehidupan dengan mata kelembutan sedang berjalan di jalan kedamaian. Perintah kedua: “lihat langit melampaui awan-awan”. Kesedihan-kesenangan, cacian-pujian, gagal-sukses semuanya awan-awan yang tidak kekal. Dan Anda bukan awan-awan tersebut.
Diri sejati mirip dengan langit biru. Apa pun wajah awannya, semuanya disaksikan dengan senyuman yang sama. Itu sebabnya, meditasi mendalam selalu menyarankan untuk menjadi saksi terhadap semua pengalaman kekinian.
Perintah ketiga: “akar selalu bertumbuh di tempat gelap”. Penafsirannya, siapa saja yang mau mengerti akarnya jiwa disarankan memahami kegelapan. Simpan di dalam hati, kegelapan bukan musuhnya cahaya. Kegelapan adalah kekuatan yang membuat cahaya memancar lebih terang. Lebih dari itu, kalau semua orang menjauh dari kegelapan, lantas siapa yang membimbing mereka berevolusi menjadi cahaya?
Digabung menjadi satu, tiga perintah Shiva Tantra ini bisa menjadi bekal mendalam di jalan pencerahan. Pandang kehidupan secara lembut, lampaui awan-awan pikiran dan perasan, kemudian ingat selalu bahwa semuanya adalah cahaya. Bahkan kegelapan pun sedang berevolusi menjadi cahaya.
Ia yang membadankan tiga perintah ini dalam-dalam, jiwanya sedang berevolusi menjadi bunga indah. Jika bunga biasa cepat layu, bunga jiwa yang tercerahkan akan tetap mekar di sini untuk berbagi aroma cinta.
Penulis: Gede Prama

Berjumpa Guru Sejati

“Apa dan siapa itu Guru sejati?”, demikian pertanyaan yang kerap diungkapkan oleh banyak pencari. Tidak mudah menjawabnya. Sederhananya, bagi orang biasa yang belum tercerahkan, Guru sejati ada di luar. Bagi pencari yang baru tercerahkan, Guru sejati ada di dalam. Namun bagi ia yang sudah mengalami pencerahan sempurna, Guru sejati itu melampaui luar dan dalam.
Di Barat yang bahasanya lugas, ada yang mendefinisikan Guru sejati sebagai the unobscured suchness. Artinya, kepolosan yang memancar secara terang benderang. Guru sejati dalam kerangka berfikir ini jauh dari penghakiman. Pikirannya selalu polos memandang semuanya apa adanya. Namun dari kepolosan itu memancar cahaya yang indah menawan.
Namun di Timur yang bahasanya halus, para pencari sering diberi nasehat seperti ini. Tidak perlu mengejar kupu-kupu, cukup membuat bunga mekar indah menawan. Kalau bunga mekar indah menawan, secara alamiah kupu-kupu datang. Dengan cara yang sama, tidak perlu mengejar Guru sejati. Konsentrasikan energi untuk melaksanakan kesejatian (baca: tulus, halus, ikhlas). Ia yang di dalamnya kesejatian, secara alamiah akan bisa melihat Guru sejati.
Sejujurnya, di setiap putaran waktu ada Guru sejati. Sedihnya, sangat-sangat sedikit ada pencari yang bisa menemukan Guru sejati. Ada tipe pencari yang mirip laron yang mendekati api. Begitu ia dekat dengan Guru sejati, hidupnya terbakar berbahaya. Bahkan ada yang kehilangan nyawa. Ada pencari yang serupa sendok di tengah sop. Ia berada dalam jarak yang sangat dekat dengan Guru sejati, tapi ia tidak merasakan apa-apa. Ada pencari yang mirip batu yang nyemplung ke air. Ia hanya basah (baca: mengerti) di permukaan saja. Yang paling diberkahi adalah pencari yang menyerupai gula pasir yang dimasukkan ke air. Ia larut sepenuhnya dengar Guru sejati. Dan pada saat yang sama menghadirkan rasa manis bagi diri Guru sejati.
Para sahabat yang tipe laron, yang terbakar saat dekat dengan Guru sejati, disarankan belajar tatakrama berjumpa Guru sejati. Terutama sebelum kehidupan betul-betul terbakar secara menyedihkan. Pencari yang mirip sendok di tengah sop memerlukan kecerdasan dan kepekaan yang jauh lebih dalam. Pencari yang serupa batu di dalam air diundang untuk memahami semakin dalam. Terutama dengan melaksanakan apa yang diajarkan dalam keseharian.
Dan kualitas yang membuat seseorang bernasib sangat beruntung seperti gula pasir yang larut ke dalam air bernama bakti yang sempurna. Bentuk bakti kepada Guru sejati ada bermacam-macam. Tergantung pada seberapa dekat hubungan seseorang dengan Guru sejati. Untuk konsumsi publik pemula, bentuk bakti yang disarankan adalah melaksanakan inti sari ajaran dalam keseharian. Sampai suatu hari bisa melihat kehadiran Guru sejati di mana-mana.
Segelintir sahabat dekat di keluarga spiritual Compassion sering diberi nasehat seperti ini: “biasakan sejak awal untuk berkomunikasi dengan Guru tidak menggunakan bahasa manusia, melainkan menggunakan bahasa cahaya”. Maksudnya sederhana, selalu pandang Guru bukan sebagai manusia, tapi sebagai wakil alam cahaya yang hadir di sini untuk menerangi jiwa.
Sebagaimana telah dialami oleh pencari-pencari tingkat tinggi di Tantra, cara memandang Guru seperti ini membawa dampak penerangan ke dalam diri yang di luar dugaan. Sekaligus di luar apa yang bisa dimengerti pikiran orang biasa. Sering terjadi, tiba-tiba saja seorang pencari sudah sampai di tingkat ketinggian yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Ini mirip dengan konsep self-fulfilling prophecy di psikologi, yang mengajarkan bahwa manusia bisa menjadi sebagaimana yang mereka yakini.
Dan untuk sampai di tingkat seperti ini, di kedua belah pihak (Guru dan murid) harus cerdas. Kapan saja kehadiran Guru sejati membuat hidup jadi panas (mudah marah, mudah gelisah, mudah resah), itu tanda seseorang terlalu dekat. Jika kehadiran Guru sejati membuat seseorang jadi semakin gelap (bingung, canggung), itu tanda seseorang jaraknya terlalu jauh.
Dalam keadaan demikian, pintar-pintarlah membuka dan menutup jendela jiwa. Seperti membuka jendela rumah, pagi-pagi jendela dibuka agar udara segar. Saat siang yang panas jendela ditutup. Dengan cara yang sama, kalau panas menjauh dari Guru sejati. Kalau gelap, belajar mendekat. Tanda kalau jarak seseorang dengan Guru sejati itu tepat dan pas, jiwa bernasib seperti seorang bayi yang dekat dengan ibu kandungnya. Ada rasa aman, nyaman dan tentram di sana.
Penulis: Gede Prama

Pencuri Kedamaian

Di dunia akademis, setiap bentuk pengkotakan jiwa manusia disarankan untuk dihindari. Terutama karena pengkotakan adalah sebentuk pendangkalan. Meminjam pendapat seorang filsuf, jiwa manusia itu multi dimensional (melampaui segala pengkotakan). Namun, untuk kepentingan praktis pengkotakan itu diperlukan.
Lebih mudah menyembuhkan luka jiwa kalau seseorang mengerti ciri unik dirinya di dalam. Sebagai bahan renungan dalam perjalanan panjang menuju kedamaian, ada dua jenis pencuri kedamaian di dalam. Kedua pencuri inilah yang membuat kedamaian pergi menjauh entah ke mana.
Oleh karena serangkaian kejadian di masa lalu yang menimbulkan banyak luka jiwa, sebagian sahabat cenderung peka dan mudah luka. Jangankan diserang orang, bahkan ditanya orang saja bisa menimbulkan luka. Pencari spiritual jenis ini suka membuat konsep diri yang terlukai di dalam. Ia menyebut diri sebagai korban kehidupan.
Wajah diri seperti inilah yang terus menerus bercakap-cakap di dalam. Dari minta perlindungan sampai dengan minta didengarkan. Begitu memori terlukai muncul, ia minta perlindungan. Begitu ingatan disakiti muncul, ia minta didengarkan. Sebagai akibatnya, pikiran tidak pernah istirahat di dalam.
Dari waktu ke waktu pikiran sibuk antara membangun perlindungan diri di dalam, atau meladeni diri yang terlukai untuk terus menerus didengarkan keluhannya. Saat ia minta perlindungan, diri yang terluka ini mirip bayi menangis yang minta didekap. Tatkala ia minta didengarkan, diri yang luka ini mengeluh soal orang-orang yang melukai. Ujungnya mudah ditebak, ia mencuri kedamaian jiwa di dalam.
Pencuri kedamaian yang ke dua sering mendatangi manusia yang sebaliknya, yakni manusia yang terlalu percaya diri, sehingga tidak memiliki kepekaan sama sekali. Di psikologi, manusia jenis ini disebut sebagai sapi di tengah barang pecah belah. Ia bicara ke sana ke mari seenaknya. Dan tidak tahu kalau yang mendengarkan terluka jiwanya.
Jika manusia peka membangun konsep diri yang terluka, sapi di tengah barang pecah belah ini persoalan waktu akan dikejar oleh banyak rasa bersalah. Rasa bersalah inilah yang juga membangun sosok diri palsu di dalam. Jika ia tidak muncul di usia muda, ia akan muncul di masa tua. Sedihnya, kalau tidak muncul di usia muda dan di usia tua, rasa bersalah ini akan mengejar nanti setelah kematian. Ini lebih menakutkan lagi.
Sama dengan diri yang terluka yang bercakap-cakap di dalam, rasa bersalah ini juga bercakap-cakap di dalam. Dari minta dibenarkan sampai dengan kecenderungan untuk selalu menyalahkan. Saat memori buruk datang dari masa lalu, ia akan menumpuk argumen pembenaran. Ketika ingatan tentang orang dibenci muncul, ia langsung menyalahkan.
Ujungnya sama, pikiran selalu ribut di dalam. Persoalan waktu, jiwa akan kelelahan. Lagi-lagi kedamaian lari entah ke mana. Teman-teman yang sudah menghabiskan waktu tahunan dalam keheningan kesendirian mengerti, inilah dua jenis pencuri kedamaian yang digendong manusia ke mana-mana.
Di jalan meditasi, begitu pencuri-pencuri kedamaian ini datang, segera ia didekap lembut dengan sepasang tangan ke-u-Tuhan. Seperti alam yang mendekap malam dan siang, seperti itu juga seseorang disarankan untuk mendekap luka dan suka di dalam. Tidak saja para pemula, bahkan jiwa bercahaya pun ada luka dan sukanya.
Sebagai hasilnya, pelan perlahan percakapan melelahkan di dalam akan menurun. Diri sebagai korban – untuk jiwa yang mudah luka, mulai mengecil. Bersamaan dengan itu bertumbuh benih-benih agar seseorang menjadi tuan dalam kehidupan. Rasa bersalah yang mengejar juga serupa, begitu ia sering didekap oleh ke-u-Tuhan, pelan perlahan ia tidak lagi menjadi pencuri kedamaian di dalam
Penulis: Gede Prama

Nyanyian-nyanyian Bambu

Di suatu waktu, bambu di hutan iri dengan nasib baik seruling. Suaranya dikagumi orang sekaligus mewakili keindahan. Merasakan dalamnya rasa iri bambu, seruling pun mencoba menjelaskan. “Hai bambu”, demikian seruling memulai penjelasan. “Dulunya, saya juga bambu seperti kalian. Sebelum menjadi seruling, kaki saya dipotong golok, badan saya dihaluskan pisau tajam, yang paling menyakitkan dada saya dilobangi”.

Sejujurnya, demikian juga perjalanan manusia-manusia bercahaya. Tidak ada diantara mereka yang perjalanannya hanya lurus mulus. Sebagian nyaris terbunuh (Nelson Mandela), sebagian bahkan benar-benar terbunuh (Mahatma Gandhi, John Lennon). Tidak adilnya, sejumlah orang mengira kehidupan mereka tanpa godaan dan cobaan, tiba-tiba sudah mengagumkan di atas sana.

Inilah yang kemudian dengan mudah membangkitkan rasa iri. Andaikan banyak orang tahu betapa bahayanya jalan-jalan kehidupan di atas sana, mungkin sebagian orang akan memilih aman nyaman menjadi orang biasa. Namun begitulah ciri utama banyak kehidupan, serupa dengan bahayanya strum listrik, baru percaya setelah pernah kena strum.

Ini yang bisa menjelaskan kenapa nyaris semua anak muda demikian bersemangat dan bertenaga. Sekolah, kursus, mengikuti aktivitas organisasi, mencari bea siswa dan segudang kegiatan bertenaga lainnya. Intinya satu, bila orang bisa kenapa saya tidak. Keyakinan seperti ini juga yang menyebabkan sejumlah motivator mendorong banyak orang agar cepat kaya raya. Anthony Robbin sebagai contoh, memberi judul karyanya dengan Awakening The Giant Within. Membangunkan raksasa yang ada di dalam diri.

Premis orang di jalan ini jelas sekali. Pertama, tidak ada istilah tidak bisa. Kedua, kemampuan di dalam sini tidak terbatas. Makanya disejajarkan dengan raksasa. Ketiga, lebih tinggi kehidupan yang bisa diraih lebih baik. Dan ternyata, bagi mereka yang sudah menua bijaksana akan tersenyum penuh pengertian. Dalam kehidupan, ada yang bisa dicapai, ada yang hanya layak disyukuri. Ada wilayah kehidupan yang bisa digedor dengan kerja dan usaha. Ada wilayah kehidupan yang hanya menjadi milik misteri.

Sampai di tingkatan ini, melarang anak muda berusaha keras tentu bukan pilihan bijaksana. Sebagaimana cemara yang sejuk di gunung, kelapa yang bertumbuh kokoh di pantai, biarkanlah mereka bertumbuh sesuai dengan tingkat kedewasaannya. Namun bagi yang sudah menua, disamping badan sudah berhenti berbau parfum, digantikan oleh bau minyak kayu putih, mungkin ada gunanya mendengarkan nyanyian-nyanyian bambu.

Coba perhatikan bambu dalam-dalam. Ia kuat dan kokoh tanpa pernah bisa dicabut angin. Dan alasan utama kenapa bambu kuat karena berakar kuat ke dalam. Ini berbeda dengan sebagian manusia yang hidupnya lemah dan keropos, terutama karena berakar ke luar (pangkat, kekayaan). Ini memberi inspirasi, belajarlah bertumbuh dengan berakar ke dalam. Ke dalam persahabatan dan rasa syukur atas berkah kehidupan.

Kedua, bambu senantiasa segar di segala musim. Ini berbeda dengan kebanyakan manusia yang hanya segar bila punya uang, naik pangkat, dipuji. Dan karena tidak ada kehidupan yang selalu kaya dan bahagia, maka layak direnungkan untuk belajar indah di setiap langkah. Kaya indah karena banyak yang bisa dibantu dengan kekayaan. Miskin juga indah, karena melalui kemiskinan manusia tidak perlu takut kehilangan. Naik pangkat indah karena penuh pujian. Pensiun juga indah. Berlimpah waktu yang tersedia untuk diamalkan.

Nyanyian bambu yang ketiga, setelah tinggi bambu merunduk rendah hati. Siapa saja yang setelah tinggi kemudian tinggi hati, ia sedang menabung untuk keruntuhannya di kemudian hari. Dan puncak cerita bambu, ketika bambu dibelah di dalamnya kosong.

Bila boleh jujur, kenapa banyak kehidupan mudah stres, marah, tersinggung, karena di dalamnya penuh berisi. Dari harga diri, kekayaan, sampai status sosial. Sehingga begitu ada orang yang berperilaku berbeda dari yang diharapkan, godaan untuk marah mudah muncul. Dan bambu mengajarkan, semua yang hebat-hebat yang membuat manusia mudah marah, suatu hari akan berakhir dengan kekosongan.

Uniknya kekosongan, begitu ia muncul secara alamiah akan membawa pelayanan di belakangnya. Ia sesederhana air yang membawa basah, api yang membawa panas. Persis seperti bambu, di dalamnya memang kosong tetapi terus menerus melayani kehidupan dengan berbagi kesegaran di segala musim.

Penulis: Gede Prama

Senin, 29 Mei 2017

Guru yang menyamar

Ditulis oleh Gede Prama
 
Seorang sahabat yang sudah membaca ribuan judul buku, telah belajar ke manca negara, berjumpa sejumlah tokoh kaliber dunia bercerita, ada saatnya jiwa itu jenuh sekali dengan kegiatan belajar ke luar seperti membaca, mendengarkan ceramah, belajar dari pengalaman orang lain. Pada saat yang sama muncul kerinduan mendalam untuk belajar ke dalam.

Persisnya, berguru pada Cahaya yang bersemayam di dalam. Meminjam salah satu pesan indah Upanishad: “belajar apa-apa yang tidak bisa diajarkan”. Sejenis cara belajar yang tidak kebayang bagi orang kebanyakan. Ia lebih sulit lagi dimengerti oleh orang-orang yang sedikit-sedikit lari dari kesulitan.

Namun, bagi jiwa-jiwa yang dalam, ini pilihan jalan yang tidak bisa dihindari. Ia satu-satunya jalan yang tersedia kalau seseorang mau perjalanan jiwanya dalam mengagumkan. Meminjam sebuah ungkapan tua: “begitu muridnya siap, Guru akan datang”. Catatannya, wajah Guru yang datang tidak seperti yang dibayangkan banyak orang.

Di tingkatan ini, wajah Guru yang datang sebagian besar menyakitkan dan menakutkan. Mungkin itu sebabnya, di tempat-tempat suci yang berbau Tantra, simbol-simbol yang dipamerkan adalah simbol-simbol yang seram dan menakutkan. Kalau jiwanya belum dewasa, jangan coba-coba memasuki wilayah ini.

Sebagai pintu pembuka di jalan ini, kehidupan akan ditandai oleh banyak kesulitan. Tidak saja sulit secara material, tapi juga sulit secara spiritual. Dan semakin lama, kesulitan datang dari orang yang semakin dekat. Dalam kadar yang semakin berat. Yang membuat sang jalan lebih menantang, ia tidak memberi pilihan untuk lari menjauh. Satu-satunya pilihan yang tersedia adalah dihadapi.

Ia bisa muncul dalam bentuk anak bermasalah, pasangan hidup yang penuh musibah, orang tua yang banyak maunya. Dan semakin lama beban itu tidak semakin ringan. Sebaliknya semakin berat dan semakin berat. Sampai di suatu titik, seseorang tidak punya pilihan lain selain bersahabat dekat dengan kepasrahan dan keikhlasan. Anehnya, setelah didekap lembut dengan keikhlasan, ada saja keajaiban yang datang sebagai penyelamat.

Jika buku yang ditulis manusia ada bab terakhirnya yang membawa kesimpulan, buku kehidupan yang ditulis Tuhan tidak mengenal bab terakhir. Tidak juga mengenal kesimpulan terakhir. Yang ada adalah cobaan yang tidak mengenal akhir. Itu sebabnya, bagi jiwa-jiwa yang dalam tidak ada waktu yang sepenuhnya bebas dari cobaan dan godaan.

Meminjam dari psikolog kondang Carl G. Jung, sejauh seseorang masih memiliki ruang gelap di dalam (baca: sesuatu yang ditekan dan ditolak), sejauh itu juga yang bersangkutan akan diikuti oleh bayangan ke mana saja ia pergi. Ia bisa orang yang membenci, mencaci, menyerang, menjatuhkan, serta mendorong jiwa agar masuk jurang.

Anehnya, mirip dengan menghindari bayangan sendiri, semakin cobaan itu dihindari, ia akan semakin mengejar. Di tingkat seperti itu, seorang pencari tidak punya pilihan lain selain bersahabat dekat dengan keikhlasan. Di Tantra, ia disebut bakti yang mendalam kepada Guru. Jangankan nama baik dan reputasi, bahkan nyawa ini pun kalau mau diambil dipersembahkan kepada Guru.

Di Buddha ada cerita bercahaya Jetsun Milarepa yang menyerahkan nyawanya pada Gurunya Marpa. Di Hindu ada kisah indah Mahatma Gandhi, yang tatkala tubuhnya ditembus peluru panas, beliau memanggil nama Guru: “Shri Ram, Shri Ram…”. Begitulah perjalanan jiwa-jiwa yang dalam. Guru bisa menyamar dengan berbagai wajah. Dari sangat menakutkan sampai sangat menyenangkan.

Kamis, 20 April 2017

Belajar ke Dalam

Berawal dari mencari-cari quote untuk motivasi, sampai pada menemukan video pencerahan dari seorang penutur. Untuk sekedar memperbanyak tulisan akibat kekurangan ide, saya gunakan videonya sebagai sumber tulisan. 

Dijelaskan oleh penutur, di sekolah kita hanya belajar ke luar diri, kita belajar sosiologi, kimia, psikologi dan lain-lain. Kita jarang sekali belajar ke dalam diri. Dimana di dalam ada ruang-ruang gelap yang juga mesti kita pelajari, bad mood, sedih, sakit, stress, depresi. Rasa sakit, kesedihan dan segala bentuk hal yang dibenci oleh banyak orang adalah masukan kalau ada ruang-ruang gelap di dalam diri. 

Oleh Sigmund Freud ruang-ruang gelap ini disebut alam bawah sadar disunconsciusness. Kita tidak berharap mimpi buruk tapi mimpi buruk, tidak minta bad mood tapi bad mood, tidak ada manusia yang berdoa minta kanker tapi kena kanker juga. Itu adalah bagian cara alam bawah sadar berbicara ke kita. Menurut psikolog Cal Young menyebut ruang gelap di dalam diri dengan The Shadow, yaitu bayangan yang mengikuti kita kemanapun kita pergi. Di dunia psikologi sang bayangan dengan alam bawah sadar disebabkan karena kita terlalu banyak menekan emosi saat kita berumur masih kecil. 

Saat kita berumur 0 sampai 10 tahun kita selalu banyak menekan emosi. Akibatnya emosi yang tertekan akan terlempar dan tersimpan di alam bawah sadar menjadi sampah. Ketika dewasa sampah-sampah inilah muncul dalam berbagai macam hal yang tidak kita kehendaki. Tekanan-tekanan emosi waktu kecil ini disebabkan oleh banyak hal, ada yang dulunya sering dibully, ada disebabkan karena sering diberi kata-kata kasar oleh orang tuanya dan sejenisnya. Hal inilah menciptakan ruang-ruang gelap di alam bawah sadar seseorang.

Di dunia spiritualitas barat (western spirituality) alam bawah sadar ini di batasi dari umur 0 sampai 10 tahun. Cerita spiritualitas timur (eastern spirituality) berbicara lebih jauh dalam time prime lebih lama, bahwa alam bawah sadar seseorang adalah karma-karma yang berputar (dari kehidupan sebelumnya hingga hari ini). Berguru kepada Guru Agung Buddha, beliau tatkala mengalami pencerahan melihat ribuan kehidupan sebelumnya. Beberapa kejadian menyedihkan akibat ribuan kehidupan beliau sebelumnya tatkala beliau lahir menjadi monyet, lahir sebagai kura-kura, menjadi pangeran sutasoma dan kelahiran lainnya. Simpulannya bahwa apapun sebabnya alam bawah sadar itu ada, ruang gelap itu ada membawa kita sampai di sini.

Sekarang kita mencangkul yang dalam ke dalam diri kita. Tanah dipermukaan yang kita cangkul bernama Intelektual. Intelektual ini adalah bahasa kepala. Ada seseorang yang bertanya tentang bagaimana menerima sesuatu apakah yang kita terima itu baik atau buruk?. Kerangka baik-buruk, benar-salah, dan segala macam bentuk dualitas dalam istilah orang bali disebut rwa binedha adalah bahasa kepala. Jadi permukaan tanah pertama kali yang kita cangkul sebelum memasuki ruang gelap di dalam diri adalah intelektual.

Dengan memohon maaf kepada orang-orang yang pintar khususnya, berat perjalanan spiritualnya karena berhenti dipermukaan yang paling luar yaitu Intelek, dengan seluruh benar-salahnya dalam perdebatan pengetahuan intelektual yang dimilikinya. 

Lapisan selajutnya yang lebih dalam setelah intelektual yang kita gali adalah Insting. Belajar menggali lebih dalam ke dalam insting (bahasa tubuh) sebagai rahasia-rahasia yang disembunyikan di dalam tubuh kita dengan tanda-tanda. Seperti seseorang yang merasakan tidak nyaman disatu tempat, tapi merasa nyaman ditempat lainnya, perasaan cepat dekat kepada orang lain adalah sebagai contoh bahasa tubuh yang sedang memberi tanda yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Beberapa orang menyebutnya dengan Deja-vu, seperti ketemu orang pertama kali yang seolah sudah pernah dikenal sebelumnya. Tanda-tanda inilah yang disebut Insting sebagai bahasa tubuh.

Selanjutnya yang lebih dalam setelah Insting (bahasa tubuh) adalah intuisi (bahasa hati). Orang-orang yang menggunakan bahasa hati seperti Bunda Teressa, jangankan melihat manusia menderita dengan kanker, hanya dengan melihat kucing kurus saja bisa menangis. Dalam keadaan seperti ini karena sudah memasuki tahap belajar menggali intuisi.

Tahap selajutnya adalah menggali diri lebih dalam lagi yaitu melampaui Intelek, Insting dan Intuisi yaitu belajar menjadi saksi. Senang ibarat awan putih, sedih awan hitam, sehat awan putih sakit ibarat awan hitam, dipuji sebagai awan putih dicaci awan hitam, tetapi kita bukan awan-awan itu, kita adalah langit yang menyaksikan. Saat seseorang tidak lagi terpengaruh untuk membandingkan / memperdebatkan senang-sedih, salah-benar, untung-rugi, kaya-miskin, pujian-cacian, maka ia adalah seseorang yang telah menjadi saksi.

Sebagai seseorang yang belajar ke dalam diri, mencintai kedamaian dan menginginkan kedamaian dibentuk untuk menjadi saksi, yaitu menyaksikan apa saja aliran kehidupan disaat ini. Air sifat alaminya basah, api sifat alaminya panas, air ya basah, api ya panas, sebagai saksi artinya membiarkan air sebagai air, membiarkan api sebagai api. Di Zenn ada cerita menarik, ceritanya pendek tapi dalam, tatkala hujan turun bebek menyemplungkan diri ke kolam, ayam bersembunyi di bawah pohon, ayam menjauh dari air, bebek mendekat dengan air. Keduanya mengambil jalan yang berseberangan, tapi keduanya bahagia apa adanya.

Demikian sepenggal penuturan yang dapat saya tulis disini, mungkin bagi beberapa teman-teman tulisan ini tidak menarik dan tidak bermanfaat apa-apa, tetapi jika ada satu saja dari teman yang tertarik dan dirasa memberi manfaat itu sudah menjadi kebahagiaan luar biasa bagi saya. Terima kasih.

Rabu, 19 April 2017

Banggalah Ketika Anda Kalah

Sebagai manusia biasa yang ditunjuk menjadi pemimpin, sayapun dihinggapi penyakit, mau menang di depan bawahan. Sayangnya, semakin penyakit tadi muncul, semakin saya dibawa jauh dari jalan keluar. Entah bagaimana pengalaman orang lain. Ternyata badan dan jiwa saya termasuk tipe yang tidak mau diajak ke dalam kehidupan menang-menangan. Semakin diajak ke sana, semakin rusak rasanya.

Di tengah kegundahan hidup semacam ini, seorang rekan dari Amerika mengirimi saya sebuah buku menarik. Buku yang ditulis oleh David Maraniss dengan judul When Pride Still Mattered : A Life of Vince Lombardi, bertutur apik tentang filosopi hidup seorang pelatih sepak bola legendaris bernama Vince Lombardi. Hidup, memang tidak berbeda jauh dengan permainan sepak bola. Ada pertandingan. Ada pihak yang menang dan kalah. Ada perjuangan. Ada awal dan ada akhir.

Kompetisi memang membawa vitalitas dalam kehidupan. Membuat kehidupan menjadi lebih bergairah. Bangun pagi jadi bersemangat. Akan tetapi, sebagaimana permainan sepak bola, tidak pernah ada kehidupan yang senantiasa berisi kemenangan. Menang dan kalah adalah dua hal yang senantiasa bergandengan saling melengkapi. Ada yang menang karena ada yang kalah. Untuk itulah, agar supaya stamina hidup tetap terjaga penting sekali kita menguasai diri sendiri sebelum menguasai orang lain.

Dalam kaitannya dengan usaha menguasai diri sendiri Maraniss menulis amat apik: Be proud and unbending in defeat, yet humble and gentle in victory. Dengan kata lain, banggalah ketika kalah dan rendah hatilah ketika Anda menang. Mungkin bagi Anda ini biasa-biasa saja. Namun, bagi saya yang hidup dalam lingkungan kehidupan yang mendewakan kemenangan, petuah terakhir amat menggugah.

Bagaimana tidak menggugah, di tengah suasana hati yang kisruh gara-gara nafsu penuh kemenangan, tiba-tiba ada orang yang mengajak bangga untuk sebuah kekalahan. Dan seperti kejuaraan sepak bola, bukankah kita yang duduk di juara dua, tiga atau yang tidak dapat piala, menjadi tangga yang mengangkat sang juara tinggi-tinggi?. Dan lebih hebat lagi, sudah menjadi tangga yang diinjak juara, sering juga dicemoohkan orang lain. Bukankah amat mulia, di satu sisi mengangkat orang lain, dan di lain sisi kita direndahkan derajat kita oleh orang lain?

Saya tidak tahu keyakinan Anda, namun saya merasa sudah menjadi pemenang setelah memahami prinsip banggalah ketika kalah. Sebab, kemenangan sebenarnya ada di sini: di dalam diri sendiri. Dan ia mesti diperjuangkan terus menerus. Seperti ditulis Maraniss: complete victory can never be won, it must be pursued. Memang, tidak pernah ada kemenangan yang sempurna, ia mesti senantiasa diperjuangkan. Di kesempatan lain, saya menyebutnya dengan logic of discovery bukan logic of perfection. Sebuah logika yang tidak mengkonsentrasikan pada kesempurnaan, namun pada penemuan dan perjalanan sehari-hari.

Setiap penemuan, ibarat sebuah penyucian yang mencerahkan. Tandanya sederhana, mulut berbentuk bundar sambil mengucapkan “O”, jiwa tercerahkan, dan stamina fisik serta psikologis meningkat. Dan pengalaman saya bertutur, semua ini bersembunyi amat rapi di balik banyak sekali hempasan gelombang hidup.

Hanya dengan membaca, kita memang bisa tahu. Akan tetapi, pendalaman dengan pengertian lebih mungkin hadir ke mereka yang pernah lewat dari hempasan gelombang kehidupan yang ganas. Dan inilah yang membuat saya berhutang banyak pada Universitas Kesulitan. Sebuah sekolah yang amat saya banggakan. Melebihi kebanggaan pada sekolah saya di Inggris dan Prancis.

Anda, saya yakin pasti punya pengalaman tersendiri. Sebagaimana sidik jari yang unik, ia tentu saja bermakna unik juga. Hanya saja, pengalaman saya bertutur, Tuhan sebenarnya berkomunikasi dengan kita setiap hari. Sekali lagi, setiap hari. Melalui apa? Tentu saja melalui kejadian-kejadian yang lewat di depan mata. Cuman, ada orang yang menangkap makna kejadian yang lewat di depan mata melalui seluruh kepekaannya, ada orang yang tuli dan buta dengan semua itu. Dalam bingkai berfikir seperti ini, saya mensyukuri baik kemenangan maupun kekalahan. Keduanya sama-sama menghadirkan kebanggaan. Bahkan dalam kekalahan, kebanggaan bercampur dengan kemuliaan.


(Sumber: https://annunaki.me)

Kamis, 13 April 2017

Download mp3

Kalian dapat download beberapa lagu pilihan saya, yang mungkin kalian juga suka.

Silahkan klik download:

Rabu, 12 April 2017

The Facto

Oleh: Komang Gora


Apa itu fakta, fakta adalah keadaan atau peristiwa dengan kenyatannya yang benar-benar ada dan benar-benar terjadi.

Lalu apa permasalahannya? tentu kita sulit menyadari, lebih-lebih bagi yang suka menyangkal fakta. Sangat sering terjadi dimana fakta dengan harapan yang gagal menyatu akan menciptakan penyangkalan pada fakta demi menyenangkan hati.

Banyak orang yang tidak menyukai dan menerima bahasa-bahasa fakta karena dianggap kasar dan keras. Bahasa fakta sering diklaim sebagai bahasa yang vulgar dan tidak pantas. Anggapan tersebut sesungguhnya bukan karena bahasanya tetapi, karena fakta yang terkandung didalamnya mengandung unsur kejujuran yang tinggi. Bahasa fakta akan sulit untuk dihindari, karena menggunakan fakta-fakta sebagai indikatornya.

Bahasa fakta adalah simbol ketegasan dan kejujuran dalam menyampaikan komunikasi, sehingga orang sekitarnya mampu merasakan keadaan dengan sebenar-benarnya tanpa rekayasa. Kemudian soal menerima atau tidak tergantung tingkat kejujuran pribadi masing-masing. Karena kejujuran hanya dapat dipahami oleh kejujuran.

Sering sekali terjadi dimana tidak sedikit orang menjadi geram dan marah-marah setelah membaca kalimat-kalimat sindiran dalam bahasa fakta. Seseorang yang membawa pesan-pesan dengan sindiran akan dianggap keras, kasar, vulgar, tidak sopan, tidak bermoral, tidak punya hati dan sejenisnya. Hal ini mungkin lebih disebabkan oleh faktor pribadi yang tidak mau fakta dirinya diingatkan kembali, atau ketakutan diri mengakui fakta dirinya sendiri atau ketakutan-ketakutan yang lain.

Entri Populer