Hari Raya Galungan menurut Parisada Hindu Dharma Indonesia dalam sejarah Hari Raya Galungan, asal kata "Galungan" adalah berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang.
Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan.
Makna Filosofis Galungan
adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. (Sumber: http://www.benuailmu.com)
Hari raya Galungan dirayakan oleh umat Hindu setiap 210 hari, dengan menggunakan perhitungan kalender Bali
yaitu pada hari Budha Kliwon Dungulan (Rabu Kliwon wuku Dungulan)
sebagai hari kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan).
Rangkaian Hari Raya Galungan:
Tumpek Wariga:
Saniscara (Sabtu) Kliwon wuku Wariga disebut Tumpek Wariga, atau
Tumpek Bubuh, atau Tumpek Pengatag, atau Tumpek Pengarah jatuh 25 hari
sebelum Galungan. Pada hari Tumpek Wariga Ista Dewata yang dipuja
adalah Sang Hyang Sangkara sebagai Dewa Kemakmuran dan Keselamatan
Tumbuh-tumbuhan.
Adapun tradisi masyarakat untuk merayakannya adalah
dengan menghaturkan banten (sesaji) yang berupa Bubuh (bubur) Sumsum
yang berwarna seperti:
- Bubuh putih untuk umbi-umbian
- Bubuh bang untuk padang-padangan
- Bubuh gadang untuk bangsa pohon yang berkembangbiak secara generatif
- Bubuh kuning untuk bangsa pohon yang berkembangbiak secara vegetatif
Pada hari Tumpek Wariga ini semua pepohonan akan disirati tirta
wangsuhpada/air suci yang dimohonkan di sebuah Pura/Merajan dan diberi
banten berupa bubuh tadi disertai canang pesucian, sesayut tanem tuwuh
dan diisi sasat. Setelah selesai kemudian pemilik pohon akan menggetok
atau mengelus batang pohon sambil berucap sendiri (bermonolog):
“Dadong- Dadong I Pekak anak kija I Pekak ye gelem I Pekak gelem apa dong? I Pekak gelem nged Nged, nged, nged”
Dialog di atas bermakna harapan si pemilik pohon agar nantinya pohon
yang diupacarai dapat segera berbuah/menghasilkan, sehingga dapat
digunakan untuk upacara hari raya Galungan. Peringatan hari ini
merupakan wujud Cinta Kasih manusia terhadap tumbuh-tumbuhan.
Sugihan Jawa
Sugihan
Jawa berasal dari 2 kata: Sugi dan Jawa. Sugi memiliki arti bersih,
suci. Sedangkan Jawa berasal dari kata jaba yang artinya luar. Secara
singkat pengertian Sugihan Jawa adalah hari sebagai
pembersihan/penyucian segala sesuatu yang berada di luar diri manusia
(Bhuana Agung).
Pada hari ini umat melaksanakan upacara yang disebut
Mererebu atau Mererebon. Upacara Ngerebon ini dilaksanakan dengan tujuan
untuk nyomia/menetralisir segala sesuatu yang negatif yang berada pada
Bhuana Agung disimbolkan dengan pembersihan Merajan, dan Rumah. Pada
upacara Ngerebon ini, dilingkungan Sanggah Gede, Panti, Dadya, hingga
Pura Kahyangan Tiga/Kahyangan Desa akan menghaturkan banten semampunya.
Biasanya untuk wilayah pura akan membuat Guling Babi untuk haturan yang
nantinya setelah selesai upacara dagingnya akan dibagikan kepada
masyarakat sekitar. Sugihan Jawa dirayakan setiap hari Kamis Wage wuku
Sungsang
Sugihan Bali
Sugihan
Bali memiliki makna yaitu penyucian/pembersihan diri sendiri/Bhuana
Alit (kata Bali=Wali=dalam). Tata cara pelaksanaannya adalah dengan cara
mandi, melakukan pembersihan secara fisik, dan memohon Tirta Gocara
kepada Sulinggih sebagai simbolis penyucian jiwa raga untuk menyongsong
hari Galungan yang sudah semakin dekat. Sugihan Bali dirayakan setiap
hari Jumat Kliwon wuku Sungsang
Hari Penyekeban
Hari
Penyekeban ini memiliki makna filosofis untuk “nyekeb indriya” yang
berarti mengekang diri agar tidak melakukan hal-hal yang tidak
dibenarkan oleh agama.Hari Penyekeban ini dirayakan setiap Minggu Pahing
wuku Dungulan.
Hari Penyajan
Penyajan
berasal dari kata Saja yang dalam bahasa Bali artinya benar, serius.
Hari penyajan ini memiliki filosofis untuk memantapkan diri untuk
merayakan hari raya Galungan. Menurut kepercayaan, pada hari ini umat
akan digoda oleh Sang Bhuta Dungulan untuk menguji sejauh mana tingkat
pengendalian diri umat Hindu untuk melangkah lebih dekat lagi menuju
Galungan. Hari ini dirayakan setiap Senin Pon wuku Dungulan.
Hari Penampahan
Hari
Penampahan jatuh sehari sebelum Galungan, tepatnya pada hari Selasa
Wage wuku Dungulan. Pada hari ini umat akan disibukkan dengan pembuatan
[penjor] sebagai ungkapan syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas
segala anugrah yang diterima selama ini, penjor ini dibuat dari batang
bambu melengkung yang diisi hiasan sedemikian rupa.
Selain membuat
penjor umat juga menyembelih babi yang dagingnya akan digunakan sebagai
pelengkap upacara, penyembelihan babi ini juga mengandung makna simbolis
membunuh semua nafsu kebinatangan yang ada dalam diri manusia.
Kepercayaan masyarakat Bali pada umumnya, pada hari Penampahan ini para
leluhur akan mendatangi sanak keturunannya yang ada di dunia, karena
itulah masyarakat juga membuat suguhan khusus yang terdiri atas nasi,
lauk-pauk, jajanan, buah, kopi, air, lekesan (daun sirih dan pinang)
atau rokok yang ditujukkan kepada leluhur yang "menyinggahi" mereka di
rumahnya masing-masing.
Persembahan pada saat Hari Raya Galungan
Hari Raya Galungan
Pagi
hari umat telah memulai upacara untuk Galungan ini. Dimulai dari
persembahyangan di rumah masing-masing hingga ke Pura sekitar
lingkungan. Tradisi yang kerap kita jumpai pada Galungan adalah Tradisi “Pulang Kampung”
, umat yang berasal dari daerah lain, seperti perantauan akan
menyempatkan diri untuk sembahyang ke daerah kelahirannya
masing-masing.
Bagi umat yang memiliki anggota keluarga yang masih berstatus [Makingsan di Pertiwi] (mapendem/dikubur), maka umat tersebut wajib untuk membawakan banten ke kuburan dengan istilah Mamunjung ka Setra,
Kuburan saat hari Raya Galungan
banten tersebut terdiri atas punjung seperti telah disebutkan di
atas, disertai tigasan/kain saperadeg (seadanya) dan air kumkuman (air
bunga).
Hari Umanis Galungan
Pada
umanis Galungan, umat akan melaksanakan persembahyangan dan dilanjutkan
dengan Dharma Santi dan saling mengunjungi sanak saudara atau tempat
rekreasi.
Anak-anak akan melakukan tradisi ngelawang pada hari ini. Ngelawang
adalah sebuah tradisi, di mana anak-anak akan menarikan barong disertai
gambelan dari pintu rumah penduduk satu ke yang lainnya (lawang ke
lawang), penduduk yang mempunyai rumah tersebut kemudian akan keluar
dari rumah sambil membawa canang dan sesari/uang, penduduk percaya bahwa
dengan tarian barong ini dapat mengusir segala aura negatif dan
mendatangkan aura positif. Umanis Galungan jatuh pada hari Kamis Umanis
wuku Dungulan.
Hari Pemaridan Guru
Kata
Pemaridan Guru berasal dari kata Marid dan Guru.Memarid sama artinya
dengan ngelungsur/nyurud (memohon) , dan Guru tiada lain adalah Ida Sang
Hyang Widhi Wasa. Dapat diartikan bahwa hari ini adalah hari untuk
nyurud/ngelungsur waranugraha dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam
manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa Guru. Dirayakan pada Sabtu Pon
wuku Galungan.
Ulihan
Ulihan
artinya pulang/kembali. Dalam konteks ini yang dimaksud adalah hari
kembalinya para dewata-dewati/leluhur ke kahyangan dengan meninggalkan
berkat dan anugrah panjang umur. Dirayakan pada Minggu Wage wuku
Kuningan
Hari Pemacekan Agung
Kata pemacekan berasal dari kata pacek yang artinya tekek
(Bhs Bali.) atau tegar. Makna pemacekan agung ini adalah sebagai simbol
keteguhan iman umat manusia atas segala godaan selama perayaan hari
Galungan. Dirayakan pada Senin Kliwon wuku Kuningan.
Hari Kuningan
Hari
Suci Kuningan dirayakan umat dengan cara memasang tamiang, kolem, dan
endong. Tamiang adalah simbol senjata Dewa Wisnu karena menyerupai Cakra,
Kolem adalah simbol senjata Dewa Mahadewa, sedangkan Endong tersebut
adalah simbol kantong perbekalan yang dipakai oleh Para Dewata dan
Leluhur kita saat berperang melawan adharma. Tamiang kolem dipasang pada
semua palinggih, bale, dan pelangkiran, sedangkan endong dipasang
hanya pada palinggih dan pelangkiran.
Tumpeng pada banten yang biasanya berwarna putih diganti dengan
tumpeng berwarna kuning yang dibuat dari nasi yang dicampur dengan
kunyit yang telah dicacah dan direbus bersama minyak kelapa dan daun
pandan harum.
Keunikan hari raya Kuningan selain penggunaan warna kuning adalah
yaitu persembahyangan harus sudah selesai sebelum jam 12 siang (tengai
tepet), sebab persembahan dan persembahyangan setelah jam 12 siang hanya
akan diterima Bhuta dan Kala karena para Dewata semuanya telah kembali
ke Kahyangan. Hal ini sebenarnya mengandung nilai disiplin waktu dan
kemampuan untuk memanajemen waktu. Warna kuning yang identik dengan hari
raya Kuningan memiliki makna kebahagiaan,keberhasilan, dan
kesejahtraan.
Hari Pegat Wakan
Hari
ini adalah runtutan terakhir dari perayaan Galungan dan Kuningan.
Dilaksanakan dengan cara melakukan persembahyangan, dan mencabut penjor
yang telah dibuat pada hari Penampahan. Penjor tersebut dibakar dan
abunya ditanam di pekarangan rumah. Pegat Wakan jatuh pada hari Rabu
Kliwon wuku Pahang, sebulan setelah galungan. (Sumber: https://id.wikipedia.org)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar