"BUMI TIDAK MEMERLUKAN BANYAK ORANG PINTAR, BUMI LEBIH MEMBUTUHKAN LEBIH BANYAK HATI YANG INDAH" - Terima Kasih Sudah Berkunjung, Jangan Lupa BACA dan BERKOMENTAR !

Kamis, 20 April 2017

Belajar ke Dalam

Berawal dari mencari-cari quote untuk motivasi, sampai pada menemukan video pencerahan dari seorang penutur. Untuk sekedar memperbanyak tulisan akibat kekurangan ide, saya gunakan videonya sebagai sumber tulisan. 

Dijelaskan oleh penutur, di sekolah kita hanya belajar ke luar diri, kita belajar sosiologi, kimia, psikologi dan lain-lain. Kita jarang sekali belajar ke dalam diri. Dimana di dalam ada ruang-ruang gelap yang juga mesti kita pelajari, bad mood, sedih, sakit, stress, depresi. Rasa sakit, kesedihan dan segala bentuk hal yang dibenci oleh banyak orang adalah masukan kalau ada ruang-ruang gelap di dalam diri. 

Oleh Sigmund Freud ruang-ruang gelap ini disebut alam bawah sadar disunconsciusness. Kita tidak berharap mimpi buruk tapi mimpi buruk, tidak minta bad mood tapi bad mood, tidak ada manusia yang berdoa minta kanker tapi kena kanker juga. Itu adalah bagian cara alam bawah sadar berbicara ke kita. Menurut psikolog Cal Young menyebut ruang gelap di dalam diri dengan The Shadow, yaitu bayangan yang mengikuti kita kemanapun kita pergi. Di dunia psikologi sang bayangan dengan alam bawah sadar disebabkan karena kita terlalu banyak menekan emosi saat kita berumur masih kecil. 

Saat kita berumur 0 sampai 10 tahun kita selalu banyak menekan emosi. Akibatnya emosi yang tertekan akan terlempar dan tersimpan di alam bawah sadar menjadi sampah. Ketika dewasa sampah-sampah inilah muncul dalam berbagai macam hal yang tidak kita kehendaki. Tekanan-tekanan emosi waktu kecil ini disebabkan oleh banyak hal, ada yang dulunya sering dibully, ada disebabkan karena sering diberi kata-kata kasar oleh orang tuanya dan sejenisnya. Hal inilah menciptakan ruang-ruang gelap di alam bawah sadar seseorang.

Di dunia spiritualitas barat (western spirituality) alam bawah sadar ini di batasi dari umur 0 sampai 10 tahun. Cerita spiritualitas timur (eastern spirituality) berbicara lebih jauh dalam time prime lebih lama, bahwa alam bawah sadar seseorang adalah karma-karma yang berputar (dari kehidupan sebelumnya hingga hari ini). Berguru kepada Guru Agung Buddha, beliau tatkala mengalami pencerahan melihat ribuan kehidupan sebelumnya. Beberapa kejadian menyedihkan akibat ribuan kehidupan beliau sebelumnya tatkala beliau lahir menjadi monyet, lahir sebagai kura-kura, menjadi pangeran sutasoma dan kelahiran lainnya. Simpulannya bahwa apapun sebabnya alam bawah sadar itu ada, ruang gelap itu ada membawa kita sampai di sini.

Sekarang kita mencangkul yang dalam ke dalam diri kita. Tanah dipermukaan yang kita cangkul bernama Intelektual. Intelektual ini adalah bahasa kepala. Ada seseorang yang bertanya tentang bagaimana menerima sesuatu apakah yang kita terima itu baik atau buruk?. Kerangka baik-buruk, benar-salah, dan segala macam bentuk dualitas dalam istilah orang bali disebut rwa binedha adalah bahasa kepala. Jadi permukaan tanah pertama kali yang kita cangkul sebelum memasuki ruang gelap di dalam diri adalah intelektual.

Dengan memohon maaf kepada orang-orang yang pintar khususnya, berat perjalanan spiritualnya karena berhenti dipermukaan yang paling luar yaitu Intelek, dengan seluruh benar-salahnya dalam perdebatan pengetahuan intelektual yang dimilikinya. 

Lapisan selajutnya yang lebih dalam setelah intelektual yang kita gali adalah Insting. Belajar menggali lebih dalam ke dalam insting (bahasa tubuh) sebagai rahasia-rahasia yang disembunyikan di dalam tubuh kita dengan tanda-tanda. Seperti seseorang yang merasakan tidak nyaman disatu tempat, tapi merasa nyaman ditempat lainnya, perasaan cepat dekat kepada orang lain adalah sebagai contoh bahasa tubuh yang sedang memberi tanda yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Beberapa orang menyebutnya dengan Deja-vu, seperti ketemu orang pertama kali yang seolah sudah pernah dikenal sebelumnya. Tanda-tanda inilah yang disebut Insting sebagai bahasa tubuh.

Selanjutnya yang lebih dalam setelah Insting (bahasa tubuh) adalah intuisi (bahasa hati). Orang-orang yang menggunakan bahasa hati seperti Bunda Teressa, jangankan melihat manusia menderita dengan kanker, hanya dengan melihat kucing kurus saja bisa menangis. Dalam keadaan seperti ini karena sudah memasuki tahap belajar menggali intuisi.

Tahap selajutnya adalah menggali diri lebih dalam lagi yaitu melampaui Intelek, Insting dan Intuisi yaitu belajar menjadi saksi. Senang ibarat awan putih, sedih awan hitam, sehat awan putih sakit ibarat awan hitam, dipuji sebagai awan putih dicaci awan hitam, tetapi kita bukan awan-awan itu, kita adalah langit yang menyaksikan. Saat seseorang tidak lagi terpengaruh untuk membandingkan / memperdebatkan senang-sedih, salah-benar, untung-rugi, kaya-miskin, pujian-cacian, maka ia adalah seseorang yang telah menjadi saksi.

Sebagai seseorang yang belajar ke dalam diri, mencintai kedamaian dan menginginkan kedamaian dibentuk untuk menjadi saksi, yaitu menyaksikan apa saja aliran kehidupan disaat ini. Air sifat alaminya basah, api sifat alaminya panas, air ya basah, api ya panas, sebagai saksi artinya membiarkan air sebagai air, membiarkan api sebagai api. Di Zenn ada cerita menarik, ceritanya pendek tapi dalam, tatkala hujan turun bebek menyemplungkan diri ke kolam, ayam bersembunyi di bawah pohon, ayam menjauh dari air, bebek mendekat dengan air. Keduanya mengambil jalan yang berseberangan, tapi keduanya bahagia apa adanya.

Demikian sepenggal penuturan yang dapat saya tulis disini, mungkin bagi beberapa teman-teman tulisan ini tidak menarik dan tidak bermanfaat apa-apa, tetapi jika ada satu saja dari teman yang tertarik dan dirasa memberi manfaat itu sudah menjadi kebahagiaan luar biasa bagi saya. Terima kasih.

Rabu, 19 April 2017

Banggalah Ketika Anda Kalah

Sebagai manusia biasa yang ditunjuk menjadi pemimpin, sayapun dihinggapi penyakit, mau menang di depan bawahan. Sayangnya, semakin penyakit tadi muncul, semakin saya dibawa jauh dari jalan keluar. Entah bagaimana pengalaman orang lain. Ternyata badan dan jiwa saya termasuk tipe yang tidak mau diajak ke dalam kehidupan menang-menangan. Semakin diajak ke sana, semakin rusak rasanya.

Di tengah kegundahan hidup semacam ini, seorang rekan dari Amerika mengirimi saya sebuah buku menarik. Buku yang ditulis oleh David Maraniss dengan judul When Pride Still Mattered : A Life of Vince Lombardi, bertutur apik tentang filosopi hidup seorang pelatih sepak bola legendaris bernama Vince Lombardi. Hidup, memang tidak berbeda jauh dengan permainan sepak bola. Ada pertandingan. Ada pihak yang menang dan kalah. Ada perjuangan. Ada awal dan ada akhir.

Kompetisi memang membawa vitalitas dalam kehidupan. Membuat kehidupan menjadi lebih bergairah. Bangun pagi jadi bersemangat. Akan tetapi, sebagaimana permainan sepak bola, tidak pernah ada kehidupan yang senantiasa berisi kemenangan. Menang dan kalah adalah dua hal yang senantiasa bergandengan saling melengkapi. Ada yang menang karena ada yang kalah. Untuk itulah, agar supaya stamina hidup tetap terjaga penting sekali kita menguasai diri sendiri sebelum menguasai orang lain.

Dalam kaitannya dengan usaha menguasai diri sendiri Maraniss menulis amat apik: Be proud and unbending in defeat, yet humble and gentle in victory. Dengan kata lain, banggalah ketika kalah dan rendah hatilah ketika Anda menang. Mungkin bagi Anda ini biasa-biasa saja. Namun, bagi saya yang hidup dalam lingkungan kehidupan yang mendewakan kemenangan, petuah terakhir amat menggugah.

Bagaimana tidak menggugah, di tengah suasana hati yang kisruh gara-gara nafsu penuh kemenangan, tiba-tiba ada orang yang mengajak bangga untuk sebuah kekalahan. Dan seperti kejuaraan sepak bola, bukankah kita yang duduk di juara dua, tiga atau yang tidak dapat piala, menjadi tangga yang mengangkat sang juara tinggi-tinggi?. Dan lebih hebat lagi, sudah menjadi tangga yang diinjak juara, sering juga dicemoohkan orang lain. Bukankah amat mulia, di satu sisi mengangkat orang lain, dan di lain sisi kita direndahkan derajat kita oleh orang lain?

Saya tidak tahu keyakinan Anda, namun saya merasa sudah menjadi pemenang setelah memahami prinsip banggalah ketika kalah. Sebab, kemenangan sebenarnya ada di sini: di dalam diri sendiri. Dan ia mesti diperjuangkan terus menerus. Seperti ditulis Maraniss: complete victory can never be won, it must be pursued. Memang, tidak pernah ada kemenangan yang sempurna, ia mesti senantiasa diperjuangkan. Di kesempatan lain, saya menyebutnya dengan logic of discovery bukan logic of perfection. Sebuah logika yang tidak mengkonsentrasikan pada kesempurnaan, namun pada penemuan dan perjalanan sehari-hari.

Setiap penemuan, ibarat sebuah penyucian yang mencerahkan. Tandanya sederhana, mulut berbentuk bundar sambil mengucapkan “O”, jiwa tercerahkan, dan stamina fisik serta psikologis meningkat. Dan pengalaman saya bertutur, semua ini bersembunyi amat rapi di balik banyak sekali hempasan gelombang hidup.

Hanya dengan membaca, kita memang bisa tahu. Akan tetapi, pendalaman dengan pengertian lebih mungkin hadir ke mereka yang pernah lewat dari hempasan gelombang kehidupan yang ganas. Dan inilah yang membuat saya berhutang banyak pada Universitas Kesulitan. Sebuah sekolah yang amat saya banggakan. Melebihi kebanggaan pada sekolah saya di Inggris dan Prancis.

Anda, saya yakin pasti punya pengalaman tersendiri. Sebagaimana sidik jari yang unik, ia tentu saja bermakna unik juga. Hanya saja, pengalaman saya bertutur, Tuhan sebenarnya berkomunikasi dengan kita setiap hari. Sekali lagi, setiap hari. Melalui apa? Tentu saja melalui kejadian-kejadian yang lewat di depan mata. Cuman, ada orang yang menangkap makna kejadian yang lewat di depan mata melalui seluruh kepekaannya, ada orang yang tuli dan buta dengan semua itu. Dalam bingkai berfikir seperti ini, saya mensyukuri baik kemenangan maupun kekalahan. Keduanya sama-sama menghadirkan kebanggaan. Bahkan dalam kekalahan, kebanggaan bercampur dengan kemuliaan.


(Sumber: https://annunaki.me)

Kamis, 13 April 2017

Download mp3

Kalian dapat download beberapa lagu pilihan saya, yang mungkin kalian juga suka.

Silahkan klik download:

Rabu, 12 April 2017

The Facto

Oleh: Komang Gora


Apa itu fakta, fakta adalah keadaan atau peristiwa dengan kenyatannya yang benar-benar ada dan benar-benar terjadi.

Lalu apa permasalahannya? tentu kita sulit menyadari, lebih-lebih bagi yang suka menyangkal fakta. Sangat sering terjadi dimana fakta dengan harapan yang gagal menyatu akan menciptakan penyangkalan pada fakta demi menyenangkan hati.

Banyak orang yang tidak menyukai dan menerima bahasa-bahasa fakta karena dianggap kasar dan keras. Bahasa fakta sering diklaim sebagai bahasa yang vulgar dan tidak pantas. Anggapan tersebut sesungguhnya bukan karena bahasanya tetapi, karena fakta yang terkandung didalamnya mengandung unsur kejujuran yang tinggi. Bahasa fakta akan sulit untuk dihindari, karena menggunakan fakta-fakta sebagai indikatornya.

Bahasa fakta adalah simbol ketegasan dan kejujuran dalam menyampaikan komunikasi, sehingga orang sekitarnya mampu merasakan keadaan dengan sebenar-benarnya tanpa rekayasa. Kemudian soal menerima atau tidak tergantung tingkat kejujuran pribadi masing-masing. Karena kejujuran hanya dapat dipahami oleh kejujuran.

Sering sekali terjadi dimana tidak sedikit orang menjadi geram dan marah-marah setelah membaca kalimat-kalimat sindiran dalam bahasa fakta. Seseorang yang membawa pesan-pesan dengan sindiran akan dianggap keras, kasar, vulgar, tidak sopan, tidak bermoral, tidak punya hati dan sejenisnya. Hal ini mungkin lebih disebabkan oleh faktor pribadi yang tidak mau fakta dirinya diingatkan kembali, atau ketakutan diri mengakui fakta dirinya sendiri atau ketakutan-ketakutan yang lain.

Sabtu, 08 April 2017

Pesan-pesan Simbolik

Oleh: Komang Gora

Membaca tulisan dari seorang penutur, yang menyampaikan bahwa tidak ada satupun unsur semesta yang tidak membawa makna bagi manusia di muka bumi. Batu, air, pohon dan segalanya dapat memberi cahaya-cahaya kesadaran bagi manusia. Tinggal kuncinya bagaimana seseorang mau untuk belajar dan mengambil makna hidup dari guru-guru simbolik ini.

Tidak sedikit orang kecewa, menangis dalam hatinya karena merasa hidupnya kesepian, sendirian di tengah-tengah hiruk-pikuknya dunia. Merasa hidupnya tidak lagi berguna ditengah-tengah keluarga, pergaulan dan lingkungan tempatnya berada. Merasakan tidak adanya kepedulian terhadap dirinya; tidak ada lagi yang memberikan senyuman, memberikan uluran tangan, tidak ada yang mendengarkan keluh-kesahnya, tidak ada lagi orang lain yang memberi dukungan yang mampu menegarkannya.

Permasalahan yang terinspirasi dari fenomen yang kerap muncul di media sosial, seperti status di facebook anak-anak remaja yang menuliskan tentang kekecewaannya karena tidak ada orang yang menelponnya, mengiriminya sms, tidak memperdulikan keberadaan dan keadaan yang sedang dialaminya.

Tetapi malangnya, seperti yang kita ketahui, seseorang tidak bisa memaksa orang lain untuk memberikan perhatian, kepedulian dan semacamnya yang mereka punya. Seperti juga diri sendiri yang juga tidak bisa dipaksa untuk melakukan apa-apa yang tidak diri kita inginkan.

Sesungguhnya, apapun yang datang kepada hidup dalam bentuk keadaan suka-duka, sepi-riuh dan semacamnya pada diri setiap orang adalah sedang membawa pesan tersendiri didalamnya. Jiwa yang sedang bertumbuh layaknya siswa yang sedang bersekolah. Semakin naik kelas, tingkat kesulitan pelajaran pun mengiringi. Kualitas diri yang meninggi akan mendapatkan pesan-pesan hidup lebih rumit dari sebelumnya. Mampu melewatinya berarti jiwa seseorang tersebut sudah naik kelas.

Seseorang bisa belajar bahasa simbolik dari pelajaran yang diberikan oleh unsur-unsur semesta yang ada disekitar kita. Perhatikan disana, seperti tanaman yang memiliki batang yang kecil dan lemah memerlukan bantuan penyangga untuk mambantunya tegak berdiri, sedangkan tanaman dengan batang yang kuat dan kokoh tidak memerlukannya.

Pelajaran yang dapat kita petik adalah, Kapanpun saat seseorang mulai merasakan semakin dijauhi oleh perhatian, kepedulian, apalagi harus mendapat cemohan-cemohan dari orang lain artinya orang tersebut sedang disiapkan oleh hidupnya untuk menjadi orang yang lebih tegar dan kuat. Hanyalah pengalaman dan ujian hidup seperti itulah yang dapat memberikan pelajaran kehidupan seseorang bertumbuh menjadi pribadi yang lebih mandiri, tegar dan kuat. Seperti kata-kata seorang penutur "cuaca buruk hanya menyisakan pohon-pohon kuat yang berkualitas". Nah,,, sekarang kembalikan ke diri kita masing-masing, kita adalah manusia yang kuat atau yang lemah.

Jumat, 07 April 2017

Sang Penjilat

  Oleh: Komang Gora


Ini bukan cara elegan memang, dan bagi beberapa orang mungkin terlalu vulgar untuk dibicarakan. Tetapi untuk memerangi sesuatu yang memuakkan yang kerap muncul menjadi pengganggu ditengah-tengah kehidupan sosial kita, mau tidak mau, suka tidak suka harus kita terangkan. Umumnya sesuatu yang kita biarkan saja semakin hari tidak tambah membaik. Bahkan akan dimanfaatkan dan semakin menjadi-jadi bagi mereka yang diuntungkan oleh situasi ini. Penjilat,,, sebuah kata yang tidak asing ditelinga para awam, disini kita akan membahasnya lebih dalam. 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “Jilat” berarti perbuatan dengan mengeluarkan atau menjulurkan lidah dan menempelkannya ke sesuatu, dengan maksud untuk merasa atau mencicipi. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya kata “jilat” mengalami perluasan makna akibat proses morfofonemik atau perubahan fonem sehingga fonem “N” yang ditambah menjadi awalan “Pen-“ yang berarti menerangkan penambahan subjek, dan menjadi “Penjilat” yang berarti orang yang suka menjilat dengan menggunakan lidahnya.

Mahkluk yang bernama Penjilat, Bermuka Dua atau Tukang Cari Muka ini biasanya muncul di lingkungan kerja, organinasi,  komunitas / pergaulan, dan semacamnya. Penjilat ini juga sama seperti kita, hanya manusia biasa. Bahkan terkadang Si Penjilat ini merupakan teman dekat kita, dia hidup berkeliaran setiap hari di sekitar kita, dan juga berteman dengan rekan-rekan kita yang lain. Namun yang pasti biasanya dia dekat dengan tujuan untuk mencari keuntungan pribadinya tanpa memperdulikan kerugian orang lain.

Makhluk menjijikkan yang bernama Penjilat ini sangat mudah dikenali, makhluk ini bisa berwujud laki-laki, bisa pula berwujud perempuan, atau bisa juga tak jelas laki-laki atau perempuan, yang jelas ia manusia.

Adapun ciri yang mudah untuk mengenali para PENJILAT ini adalah:
  • Memiliki kepribadian hipokrit (banyak muka)
  • Memiliki kepribadian depan-belakang yang berbeda
  • Memiliki kepercayaan yang tinggi (ke-PD-an istilah anak remaja)
  • Ambisius pada tujuannya
  • Oportunis sejati (Kutu Loncat)
  • Bekerja bukan karna tugas dan kewajiban, tapi karena pujian, uang, jabatan bisa juga keuntungan-keuntungan lainnya.
  • Nekad menempuh segala macam cara untuk mendapatkan semuanya
  • Sering menjadi mata-mata (sumber berita)
  • Menceritakan/menyebarkan keburukan orang untuk menjatuhkan
  • Sok pinter dan merasa lebih diantara yang lainnya
  • Sok sibuk (over akting), padahal cuma mengerjakan pekerjaan sepele
  • Sok setia, sok loyal (cari muka = menjijikkan)
  • Sok akrab dengan semua orang
  • Suka cari aman (takut kelihatan melawan agar dikira baik)
  • Pura-pura baik sama teman (padahal nyari informasi baru)
  • Mengambil semua pekerjaan, bila perlu mengambil pekerjaan orang lain (seperti tukang sate)
Bagi para Penjilat, orang lain/rekanan bukanlah teman seperjuangan, tapi Saingan, dan karenanya makhluk Penjilat ini sering menggunakan cara menyikut ke segala arah, dan juga menendang ke segala arah.

Seorang Penjilat senang mengambil keuntungan dari kesalahan dan keburukan orang lain (saingan), makhluk ini akan berapi-api memberikan presentasi yang buruk tentang rekan tersebut (saingan itu) kepada semua orang, tak peduli apakah laporan itu sesuai fakta, ataupun hanya rekayasa.

Dan tidak jarang pula makhluk sialan ini sering membesar-besarkan kesalahan orang lain yang hanya se-gede upil kucing menjadi se-gede tumpukan tai’ gajah atau tai’ dinosaurus. Seorang Penjilat merupakan wujud penjelmaan dari Bunglon.

Ketika merasa tidak nyaman dengan para penjilat sebaiknya jaga jarak dengan mereka. Usahakan untuk tidak membicarakan hal-hal pribadi dengan mereka. Dan saran yang paling penting, berikan 1 mukanya pada yang suka cari muka,,, Ha hA Ha.



- Sumber: https://www.facebook.com/marawis.alkahf

Kamis, 06 April 2017

Sekedar Tulisan


Oleh: Komang Gora



Tak akan mungkin aku rubah teriknya mentari menjadi teduhnya sinar rembulan, apalagi aku gantikan samudera biru berbatu karang menjadi hamparan savana hijau keemasan. Ini bukan permainan sulap dengan untaian mantra-mantra, bukan pula perjanjian instan sebagai kompromi permintaan dari jin botol untuk manusia".





Aku harus akui, pernah aku mengeluh dan kecewa pada malam dingin yang basah selepas hujan. Aku juga pernah marah, mencaci sang mentari panas yang begitu sombong. Aku hanya manusia biasa yang berperilaku juga layaknya manusia biasa, aku bukan dewa. Ekspresiku atas dasar respon dari indra - indraku tanpa memungkirinya. Akan betapa munafiknya jika rasa marah aku luapkan dalam rasa senang dan kesabaran atau rasa benci di dalam aku perlihatkan rasa simpati di luar.

Sebagai manusia aku hanya ingin menjadi aku saja. Tanpa kebaikan pura-pura, tanpa keburukan pura-pura. Tidak menginginkan pengakuan atas belas-kasihan, apalagi pengakuan bersyaratkan atas kepentingan. Aku hanya ingin takdirku berjalan sesederhana daun kering yang jatuh ke bumi, seringan angin yang berhembus menembus kegelapan. Dimana dengan jelas ada kebebasan untuk menentukan dimana aku, kemana aku, untuk apa aku, tanpa mesti merubah diriku atas keinginan-keinginan yang bukan dari diriku.


Pernah aku perhatikan di sana, taman bunga bertemankan kupu-kupu, dimana juga ada lalat, semut bahkan ular berbisa yang bermain ditumpukan sampah-sampah di bawah bunga. Kehidupan satu sama lain yang sungguh jauh berbeda, tapi tetap berjalan apa adanya. Jika kupu-kupu terbang mencari bunga, lalat berterbangan mencari sampah. Keduanya memiliki peran berbeda dan dunia masing-masing tanpa melulu saling menyalahkan.

Makna Hari Raya dalam Tahapan Kehidupan

Oleh: Putu Geson

 Om Swastyastu,
 
Om ano badrah kratawo yantu wiswatah
  (semoga fikiran yg baik datang dari segala penjuru)
 
Pada jenjang kehidupan disebutkan ada empat yang disebut catur warga yakni Brahmacari, Grahasta, Wanaprasta dan Bhiksuka, Jika dikaitkan dengan hari raya hindu yaitu: 
  1. Brahmacari = saraswati 
  2. Grahasta = tumpek landep pagerwesi, 
  3. Wanaprasta = Siwaratri, Galungan 
  4. Bhiksuka = Kuningan
Perayaan hari raya galungan merupakan hari raya suci bagi umat hindu. Untuk dapat terlaksananya Galungan yang sesungguhnya adalah perjalanan yang cukup panjang.

Jika kita mengawali dari wuku, adalah dari wuku watugunung sebagai perayaan hari raya saraswati yaitu turunnya ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan ini kita pergunakan dalam kehidupan sehari – hari, juga ilmu pengetahuan itu dipergunakan untuk membentengi diri. Untuk memagari diri (awidya, krodha, Lobha, Moha) kalau dalam perayaan hari raya yaitu pagerwesi.

Dan ilmu pengetahuan yang kita miliki perlu dipertajam/diasah di hari saniscara kliwon wuku landep namanya tumpek landep. Selanjutnya kita melaksanakan keharmonisan antara bhuana alit dan bhuana agung melalui yoga tapa brata samadhi bagi kita sebagai umat hindu hari dimana puncak dari rasa yang menggebu – gebu (kebodohan dan kepintaran labil) itu jatuhnya pada tilem sasih kesanga, maka dihari ini kita mengharmoniskannya dengan upacara (mecaru) dan esoknya melaksanakan perayaan catur brata penyepian yaitu amati geni, amati karya, amati lelungan, dan amati lelanguan (heningkan pikiran dengan tanpa ada rasa, warna, bau) melalui medhitasi.

Perayaan Siwa Ratri sebagai malamnya dewa siwa yang diceritakan dalam kisah lubdaka memetik daun bila sejumlah 108. Dimana maknanya adalah bahwa kebodohan sebagai kegelapan pikiraan tidak dapat diburu meskipun dengan senjata apapun, tetapi dapat disirnahkan melalui yadnya dan bakti yang tulus ikhlas.


Artinya bahwa apapun yang ada pada diri manusia itu dipersembahkan kepada yang maha kuasa. Mengutip dari pernyataan Gede Prama bahwa Orang Bali pada saat senang lari kepersembahan, pada saat menderita pun lari pada persembahan. Itu artinya pikiran, perkataan, dan perbuatan yang kita lakukan dipersembahkan secara utuh kehadapan Ida Sanghyang Widhi/Hyang Maha Kuasa.

Galungan sebagai hari kemenangan, merupakan puncak dari rangkaian proses perayaan – perayaan tersebut, yang memiliki makna sebuah perjuangan panjang kita sebagai manusia dalam usaha menegakan dharma di dalam hati dan pikiran. Mengapa demikian? dasarnya adalah, bertemunya pancawara dan sapta wara yaitu Budha dan siwa (kliwon) yang maksudnya adalah bersatunya kesucian jasmani dan rohani maka munculah kecemerlangan pikiran.


Kecemerlangan pikiran artinya widya atau ilmu pengetahuan (dharma), itulah yang disebut menang/ dungulan/ galungan. Setelah menang tentu akan uning/ kuningan kecemerlangan pikiran bersifat luhur/ keluhuran maka manusia yang berbudhi luhur. Maka pada sebuah persembahyangan diakhiri dengan menggunakan mantram yaitu "Om ksama sampurna ya namah swaha".

Om Santi, Santi, Santi, Om

Bibit-bibit Permusuhan

Oleh: Komang Gora

Seandainya orang buta bisa melihat, itu akan menjadi hal yang sangat luar biasa dan istimewa, Namun bagi orang normal itu biasa saja. Perbedaan seperti ini kerap terjadi, cenderung juga menjadi alasan timbulnya sebuah pertentangan.

Di dunia timur terang dengan terbitnya matahari, namun pada saat bersamaan di dunia barat gelap dengan tenggelamnya matahari. Fenomena abadi yang seolah memberi gambaran sekaligus pesan, bahwa kehidupan tidak mesti mempertentangkan perbedaan "gelap-terang"nya keadaan, gelap bagi diri sendiri bisa jadi terang bagi orang lain, suka bagi diri sendiri bisa jadi duka buat orang lain.

Bagi para pecinta perbandingan akan memanfaatkan perbedaan sebagai media untuk mengklasifikasi diri. Sudut pandang universal sebagai manusia dimaknai hanya sebatas hubungan dan stratifikasi sosial semata. Sudut pandang sempit ini tidak dapat menjangkau pandangan dalam radius yang lebih luas. Sehingga disana-sini seringkali terjadi perselisihan, permusuhan, disintegrasi yang semakin menjauhkan hubungan diantara satu manusia dengan manusia lainnya.

Salah-benar sudah menjadi tema hidup manusia setiap hari. Ini benar, itu salah, harus begini harus begitu dan banyak sekali cara dan alasan untuk menciptakan pertentangan dan permusuhan. Dari situasi ini, tidak sedikit manusia yang menyelamatkan diri dengan memilih keluar dari lingkaran sosial yang teramat picik ini. Lingkaran berhawa panas dengan hubungan-hubungan yang tidak memberikan cukup ruang untuk seseorang dapat bertumbuh sesuai karakter dan jati diri pribadinya.

Rabu, 05 April 2017

Sang Pemberontak

Oleh: Komang Gora

"Semakin keras pegas ditekan, semakin kuat ia menendang" begitu sepenggal kalimat yang pernah diucapkan oleh seorang penutur. Seperti gambaran untuk menegaskan jika penolakan hanya akan menciptakan pemberontakan. Kata pemberontak tentu bukan kata yang enak didengar oleh telinga, dan diasumsikan negatif bagi banyak orang. 

Sebagian lebih orang tidak begitu peka akan hal ini. Pemberontakan dalam bentuk penolakan-penolakan kerap muncul disuatu tempat yang tidak menyediakan cukup ruang kebebasan, sebagai ekspresi jiwa seseorang yang ingin keluar dari sebuah penjajahan. Bentuk penjajahan bukan hanya oleh negara kepada negara lain, juga berlaku dari satu kelompok orang atau seseorang kepada orang yang lain.

Egoisitas diri seseorang akan semakin memperparah ketidaksadaran diri untuk mengenali fenomena ini. Apalagi pada diri yang selalu nyaman bertindak semau-maunya sendiri tanpa mau bercermin, berkompromi dengan orang lain disekitarnya. Lebih-lebih melihat orang lain selalu lebih rendah dari diri sendiri. Keegoisan inilah seringkali memicu munculnya pemberontakan.

Bagi setiap orang tentu merasa pribadinya bukanlah pribadi yang egois dan tidak pantas untuk ditolak. Orang lain dianggap tidak memiliki alasan untuk menolak. Karena alat ukur dan subyek pengukurannya adalah dirinya sendiri, kenyamanannya sendiri. Diri yang selalu ingin diterima semua orang tanpa mau mengorbankan sedikit kenyamanan diri adalah salahsatu indikator jika egois masih subur di dalam diri. Seperti juga pribadi yang cenderung hanya suka didengarkan tanpa mau mendengarkan orang lain.

Jika pemberontakan dan penolakan-penolakan ini dilihat negatif, bagaimana mengklaim diri sudah berfikir positif. Bukankah hal ini hanya akan berputar bolak-balik saling bergantian untuk mengklaim diri?. Seseorang yang egois, suatu saat akan dilawan oleh keegoisan serupa oleh orang lain, dalam berbagai bentuk pemberontakan sebagai ungkapan penolakan dari seseorang ketika sikap egois itu telah dirasakan semakin menekan dan memuakkan.


Senin, 03 April 2017

Intro



I Komang Agus Gora Natha

Komang Gora, Blog. Ini saya buat hanya sekedar untuk memanfaatkan waktu, agar tidak terbuang percuma selama saya berselancar di Internet. Dengan Blog ini saya berharap dapat menjalin hubungan-hubungan yang baru dan tentunya baik, dengan para blogger maupun dengan para penjelajah dunia maya yang kebetulan lewat di depan Blog saya, Silahkan mampir hhh,,,. Untuk membuka perkenalan, sudah saya tuliskan riwayat singkat tentang diri saya, berikut ini.

Saya lahir di Ds. Jagaraga pada 5 Maret 1981. Sewaktu kecil saya bersekolah di SD 3 Lemukih, sebuah desa yang unik dan sangat terpencil dulunya, karena mungkin sekarang sudah mengalami sedikit kemajuan. Sewaktu saya tinggal di sana, belum ada air terjun. Mungkin karena belum ditemukan atau tidak berjodoh dengan saya Haha,,, Oh ya, bagi kalian yang tertarik dan suka wisata air terjun, dapat menggunakan referensi desa Lemukih sebagai destinasi wisata kalian (jadi ngelantur promosi hhh,,,).

Ketika SMP saya harus meninggalkan desa kelahiran maupun desa tempat tinggal saya, untuk bersekolah pada jenjang menengah pertama di SMP Negeri 1 Singaraja. Untuk bisa bersekolah saya harus nge-kos, yahhh,,, namanya juga anak kos, kadang makan nasi, kadang makan hati, kadang makan angin saja hhh,,,. Sekolah kurang konsentrasi tetapi akhirnya tamat juga.

Kabar buruknya adalah sewaktu saya bersekolah tingkat menengah atas. Namanya juga menceritakan riwayat hidup, harus sesuai fakta, bagus-buruk harus berimbang dan sesuai dengan fakta-fakta, tidak boleh seperti artikel-artikel HOAX yang sedang trend saat ini, boleh aja lg trend sekarang asal tidak selamanya hhh,,,. Hampir lupa nih, iya pendidikan saya di STM Negeri Singaraja yang sekarang namanya SMK Negeri 3 Singaraja, tidak dapat saya selesaikan karena ada sesuatu hal hhh,,,. Tetapi saya tidak menyerah, saya langsung pindah sekolah ke SMA PGRI Sangsit, sempat juga hanya akan mengikuti Ujian Persamaan di SMA Saraswati Tabanan yang sekaligus membawa saya tinggal di Desa Penebel Tabanan dengan sepupu-sepupu saya. Tetapi takdir hidup menampakkan garisnya kalau saya harus berhenti bersekolah.

Akhirnya saya melanjutkan sekolah di STM TP45 Singaraja hingga Lulus dan Tamat istilahnya. Saya tidak mau membuang waktu saya lagi, begitu tamat saya langsung melanjutkan keperguruan tinggi di STKIP AH Singaraja tahun 2003-2007 dengan maksud untuk mendapatkan terapi rohani hhh,,,. Tetapi sungguh ada yang berbeda, saya sangat menikmati perkuliahan disana. Di sana saya bertemu dan punya satu orang sahabat. Begitu tamat kuliah, saya mengabdikan diri di SMA Negeri 2 Busungbiu sebagai guru honor tahun 2007-2008, cuma sebentar tapi cukup memberi pengalaman.

Sekarang saya mengajar di SMP Negeri 1 Tejakula sebagai guru, pns angkatan 2009. Demi membayar kesalahan-kesalahan saya sewaktu di sekolah menengah atas, saya melanjutkan pendidikan Sarjana saya ke Pascasarjana di UNHI Denpasar 2011-2013. Saya juga mengajar di SMP Negeri 2 Tejakula, mulai tahun 2013 hingga sekarang. Kenapa mengajar di dua sekolah SMP? tentu demi mencerdaskan kehidupan bangsa hhh,,,.

Demikian riwayat singkat perjalanan hidup saya. Semoga dapat diambil hikmahnya, yang baiknya silahkan ditiru, yang buruknya tolong jangan diingatkan wkwk... Tks.


Entri Populer