Hari Raya Siwa Ratri jatuh pada Purwanining Tilem kepitu Ketujuh yaitu pada akhir pangelong, panglong ping 14. Pada saat Siwa Ratri selayaknya kita melakukan hal –hal seperti dibawah ini :
- Subuh pagi hari, menghormat pada Nabe, dan commit akan melakukan Brata Siwa Ratri ( Tapa – Brata – Yoga – Semadi )
- Melaksanakan Upawasa, monobrata, jagra ngastawa maring Hyang Siwa, diawali sujud maring Hyang Kumare dan Hyang Gajendrawadana
- Sarana bebanten : Banten pejati, Tempayan air kumkuman, diisi daun bilhwa / bernuk 108. Bunga-bunganya kenyiri, melati, sulasih, sukaasti, gambir, kecubung, menuri putih, bubuh, susu, kacang ijo, dan gula aren.
- Rsi Bojana kepada sang guru
Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa terdiri dari dua unsur yang utama yaitu purusa dan pradana atau unsur kejiwaan dan unsur kebendaan. Purusaadalah jiwa yang penuh kesadaran karena bersumber dari atman. Atman berasal dari Brahman atau Tuhan Yang Maha Esa. Pradana adalah unsur material yang menjadi dasar jasmani terdiri dari lima unsur yang disebut Panca Maha Bhuta (tanah, air, api, udara dan angkasa).
Karena
itu Bhagavadgita menyebutkan, manusia memiliki dua kecenderungan yaitu
kecenderungan kede-waan atau dewa sampad dan kecenderungan keraksasaan
atau asura sampad. Kedua kecenderungan itu bisa silih berganti muncul
setiap saat menguasai manusia.
Jika kecenderungan kedewaan yang menguasai manusia, ma-ka segala
perbuatannya selalu berdasarkan pada sreya karma. Sreya karma
mengarahkan perbuatan yang selalu berdasarkan dharma, karena didorong
oleh kesadaran. Kesadaran itu adalah penguasaan indria oleh pikiran dan
pikiran oleh budhi yang disinari pancaran suci atman. Sebaliknya, kalau
kecenderungan keraksasan yang menguasai diri manusia, maka segala
perbuatan manusia selalu didasarkan oleh wisaya karma. Wisaya karma
mengarahkan manusia berbuat di luar dharma bahkan bertentangan dengan
dharma. Perbuatan itu semata-semata didorong wisaya atau hawa nafsu
semata.
Sreya karmamengarahkan perbuatan yang disebut subha karma (perbuatan
baik) dan wisaya karma mengarahkan perbuatan yang disebut asubha karma
(perbuatan yang penuh dosa). Manusia tentu harus menghindari perbuatan
yang penuh dosa. Untuk mengetahui perbuatan dosa dan perbuatan yang
sesuai dengan dharma dapat dilihat contohnya dalam Itihasa dan Purana.
Dalam Mahabharata, Pandawa di bawah tuntunan Sri Krishna selalu berbuat
dengan penuh pertimbangan dharma. Sebaliknya Korawa, saudara sepupu
Pandawa, berbuat atas dasar dorongan hawa nafsu keduniawian saja.
Contoh
perbuatan yang baik dan buruk, juga bisa kita temukan dalam Ramayana.
Sri Rama selalu bertindak di atas pertimbangan dharma. Sedangkan Rahwana
selalu bertindak berdasarkan doro-ngan hawa nafsu yang menyimpang sama
sekali dengan dharma.
Berbuat yang selalu berdasarkan dharma tidak segampang membalik
telapak tangan. Tantangan atau godaan acapkali menghadang, sehingga
untuk melakukan kebajikan itu, harus berani menanggung derita, bahkan
mempertaruhkan nyawa. Satu hal yang perlu diingat adalah, agar dapat
selalu berbuat berdasarkan dharma, maka harus selalu memelihara
kesadarannya.
Perayaan Siwa Ratri adalah salah satu bentuk ritual Hindu yang
mengajarkan kita untuk selalu memelihara kesadaran diri agar terhindar
dari perbuatan dosa dan papa. Diakui atau tidak, manusia sering lupa,
karena memiliki keterbatasan. Kerena sering mengalami lupa itu, maka
setiap tahun pada sasih kepitu (bulan ketujuh menurut penanggalan Bali),
dilangsungkan upacara Siwa Ratri dengan inti perayaan malam pejagraan.
Pejagraan yang asal katanya jagra itu artinya sadar, eling atau melek.
Orang yang selalu jagra-lah yang dapat menghindar dari perbuatan dosa.
Dalam Bhagavadgita III, 42, dinyatakan, orang akan memiliki alam
pikiran jernih, apabila atman atau jiwa yang suci itu selalu menyinari
budhi atau alam kesadaran. Budhi (kesadaran) itu menguasai manah
(pikiran). Manah menguasai indria. Kondisi alam pikiran yang struktural
dan ideal seperti itu amat sulit mendapatkannya. Ia harus selalu
diupayakan dengan membangkitkan kepercayaan pada Tuhan sebagai pembasmi
kegelapan jiwa. Siwa Ratri (Ratri juga sering ditulis Latri) adalah
malam untuk memu-satkan pikiran pada Sanghyang Siwa guna mendapatkan
kesadaran agar terhindar dari pikiran yang gelap. Karena itu, Siwa Ratri
lebih tepat jika disebut “malam kesadaran” atau “malam pejagraan”,
bukan “malam penebusan dosa” sebagaimana sering diartikan oleh orang
yang masih belum mendalami agama.
Memang, orang yang selalu sadar akan hakikat kehidupan ini, selalu
terhindar dari perbuatan dosa. Orang bisa memiliki kesadaran, karena
kekuatan budhinya (yang menjadi salah satu unsur alam pikiran) yang
disebut citta. Melakukan brata Siwa Ratri pada hakikatnya menguatkan
unsur budhi. Dengan memusatkan budhi tersebut pada kekuatan dan kesucian
Siwa sebagai salah satu aspek atau manifestasi Hyang Widhi Wasa, kita
melebur kegelapan yang menghalangi budhi dan menerima sinar suci Tuhan.
Jika budhi selalu mendapat sinar suci Tuhan, maka budhi akan menguatkan
pikiran atau manah sehingga dapat mengendalikan indria atau Tri Guna.
Siwa Ratri pada hakikatnya kegiatan Namasmaranâm pada Siwa.
Namasmaranâm artinya selalu mengingat dan memuja nama Tuhan yang jika
dihubungankan dengan Siwa Ratri adalah nama Siwa. Nama Siwa memiliki
kekauatan untuk melenyapkan segala kegelapan batin. Jika kegelapan itu
mendapat sinar dari Hyang Siwa, maka lahirlah kesadaran budhi yang
sangat dibutuhkan setiap saat dalam hidup ini. Dengan demikian, upacara
Siwa Ratri se-sungguhnya tidak harus dilakukan setiap tahun, melainkan
bisa dilaksanakan setiap bulan sekali, yaitu tiap menjelang tilem atau
bulan mati. Sedangkan menjelang tilem kepitu (tilem yang paling gelap)
dilangsungkan upacara yang disebut Maha Siwa Ratri.
Untuk dapat mencapai kesadaran, kita bisa menyucikan diri dengan
melakukan sanca. Dalam Lontar Wraspati Tattwa dise-butkan, Sanca
ngaranya netya majapa maradina sarira. Sanca itu artinya melakukan japa
dan membersihkan tubuh. Sedang kitab Sarasamuscaya menyebutkan, Dhyana
ngaranya ikang Siwasmarana, artinya, dhyana namanya (bila) selalu
mengingat Hyang Siwa.
- Sumber Ajaran Siwa Ratri
Brata Siwa Ratri pada mulanya dirayakan amat terbatas, yaitu hanya
oleh sejumlah pendeta di Bali dan Lombok. Pada tahun 1966, setelah
hancurnya Komunisme di Indonesia, kesadaran akan kegiatan rohani kian
bangkit. Tahun 1966 itulah, perayaan Siwa Ratri mulai dimasyarakatkan
oleh Parisada dan pemerintah lewat Departemen Agama.
Mengapa Siwa Ratri dimasyarakatkan, tentu karena memang dianjurkan
oleh kitab suci Hindu. Di India, setiap menjelang bulan mati (setiap
bulan) umat Hindu menyelenggarakan Siwa Ratri dan tiap tahun merayakan
Maha Siwa Ratri. Keutamaan brata Siwa Ratri banyak diuraikan dalam
pustaka berbahasa Sanskerta, Jawa Kuno dan Bali. Ini suatu pertanda,
bahwa Siwa Ratri dari sejak dahulu sudah dirayakan baik oleh umat Hindu
di India, maupun di Jawa dan Bali.
Kemudian baru sejak 1966, Siwa Ratri dirayakan oleh umat Hindu di
seluruh Indonesia. Dalam kepustakaan Sanskerta, keutamaan brata Siwa
Ratri diuraikan dalam kitab-kitab Purana, misalnya Siwa Purana, Skanda
Purana, Garuda Purana dan Padma Purana. Dalam Siwa Purana, pada bagian
Jñana Samhita memaparkan keutamaan brata Siwa Ratri dan tata-cara
merayakan malam suci terbut. Di situ ada dimuat tentang dialog antara
seseorang bernama Suta dan para rsi. Dalam percakapan tersebutlah,
dikisahkanlah seseorang yang kejam bernama Rurudruha. Ia menjadi sadar
akan dosa-dosa yang telah diperbuat setelah melakukan brata Siwa Ratri.
Berkat ke sadarannya bangkit, ia tinggalkan semua perbuatan dosa, lalu
dengan mantap berjalan di jalan dharma.
Dalam Skanda Purana dituturkan percakapan seseorang bernama Lomasa
dengan para rsi. Lomasa menuturkan kejahatan orang bernama Canda yang
suka membunuh, dari membunuh binatang sampai brahmana. Namun setelah
melakukan tapa brata Siwa Ratri, Canda yang jahat itu akhirnya sadar
akan segala perbuatan dosanya dan baru memahami kebenaran. Canda
akhirnya menjadi orang suci dan bisa bersatu dengan Tuhan. Dalam Skanda
Purana, juga disebutkan tentang tata-cara dan asal-mulanya dilangsungkan
upacara Siwa Ratri tersebut.
Sumber Sanskerta yang lain, yaitu Garuda Purana memaparkan upacara
Siwa Ratri lebih singkat. Di situ dituturkan tentang Sang-hyang Siwa
yang mendapat pertanyaan bertubi-tubi dari itrinya (saktinya) yaitu Dewi
Parwati. Dewi Parwati bertanya, di antara pelaksanaan brata, apa yang
paling utama dilaksanakan agar men-capai kesadaran tinggi tentang nilai
hidup Ketuhanan.
Sanghyang Siwa menjawab, brata yang paling utama adalah brata Siwa
Ratri. Sanghyang Siwa juga menjelaskan tenatang tata-cara brata Siwa
Ratri tersebut. Selain itu, dikisahkan pula seorang raja bernama Sundara
Senaka yang berwatak jahat dan kasar. Raja yang disertai anjingnya
selalu berburu ke hutan membunuh binatang. Selain itu, beliau juga suka
menghamburkan hawa nafsu birahinya. Namun setelah melakukan brata Siwa
Ratri, beliau sadar akan semua perbuatan dosanya. Kemudian sang raja
meninggalkan kebiasaan buruknya itu, untuk kembali berpegang teguh ke
jalan dharma.
Akan halnya dalam Padma Purana, brata Siwa Ratri termuat di bagian
Uttarakanda. Di situ dikisahkan dialog Raja Dilipa dengan Rsi Wasistha.
Rsi agung ini menjelaskan kepada Dilipa bahwa brata Siwa Ratri adalah
brata yang sangat utama. Pelaksanaannya agar dilakukan pada bulan magha
dan palguna. Dalam kitab ini dikisahkan seorang pemburu bernama Nisada
yang di Indonesia lebih dikenal dengan nama Lubdhaka (dalam bahasa
Sanskerta, lubdhaka artinya pemburu). Suatu hari, ketika Nisada berburu
ke dalam hutan, ia kemalaman. Untuk menyelamatkan diri dari ancaman
binatang buas, ia berlindung di atas pohon — yang kebetulan pohon bila.
Di bawah pohon itu, ada sebuah telaga. Agar tidak ngantuk dan tertidur
(jika tertidur tentu akan jatuh), Nisada memetik-metik daun pohon dan
dijatuhkannya pada telaga.
Kebetulan di telaga itu ada sebuah lingga Siwa yang terbuat dari
kristal. Lingga itulah yang kena daun pohon. Lagi pula, malam itu adalah
Purwani Tilem Kepitu atau sehari sebelum tilem ketujuh (tilem yang
paling gelap di antara 12 tilem).
Sentuhan daun bila oleh Nisada dipandang sebagai persem-bahan oleh
Sanghyang Siwa. Nisada dipandang telah sadar akan dosa-dosa yang pernah
dibuatnya. Karena itu, Sanghyang Siwa menerima Nisada di Siwaloka,
setelah badan jasmani pemburu itu meninggal. Para peneliti menyimpulkan,
Padma Purana inilah yang menjadi sumber karya sastra yang memuat
tentang Siwa Ratri yang tersebar di Indonesia.
Brata Siwa Ratri dilaksanakan dengan tiga tingkatan berdasarkan
nista, madya, utama. Bentuk pelaksanaan pada tingkat nista dilaksanakan
dengan jagra. Jagra artinya sadar. Kesadaran itu dalam pelaksanaan Brata
Siwa Ratri disimpulkan dengan melaksanakan melek semalam suntuk, sambil
memusatkan segala aktivitas diri pada Tuhan Yang Maha Esa dalam
manifestasinya sebagai Sanghyang Siwa. Ada yang melaksanakan jagra
semalam suntuk dengan membahas sastra-sastra agama, seperti kakawin
dalam berbagai judul. Ada pula yang melaksanakan sauca dan dhyana. Dalam
kitab Wrhaspati Tattwa disebutkan, “Nitya majapa maradina sarira,”
artinya sauca adalah melakukan japa dan selalu membersihkan badan.
Sedangkan dhyana dalam kitab Sara-samuscaya disebutkan, Nitya Siwa
Smaranam, artinya selalu mengingat dan memuja Sanghyang Siwa.
Brata Siwa Ratri dengan jagra tidaklah tepat kalau hanya begadang
semalam suntuk tanpa arah menuju kesucian Tuhan. Jagra dalam pengertian
yang sebenarnya adalah orang yang memiliki kesadaran budhi. Melek
semalam suntuk hanyalah prilaku yang bermakna simbolis untuk memacu,
tumbuhnya kesadaran budhi yang sebenarnya.
Bentuk pelaksanaan Siwa Ratri pada tingkat madya adalah dengan jagra
dan upawasa. Upawasa dalam kitab Agni Purana berarti “kembali suci.”
Yang dimaksud kembali suci ini adalah dilatihnya indria melepaskan
kenikmatan makanan. Lezatnya makanan adalah sebatas lidah. Kalau sudah
lidah dilewati makanan itu tidak akan terasa lezat. Lidah harus dilatih
untuk tidak terikat pada kelezatan makanan. Latihan upawasa ini
melahirkan sikap yang tidak tergantung pada makanan yang enak. Tubuh
mem-butuhkan makanan yang sehat dan bergizi bukan yang enak.
Upawasadilaksanakan dengan tidak boleh makan dan minum dari pagi hari
saat matahari terbit pada panglong 14 sampai besoknya pada Tilem sasih
Kepitu saat matahari terbenam. Upawaca Siwa Ratri dilaksanakan selama 36
jam penuh. Upawasa ini dapat dilakukan sampai bepergian ke luar rumah
misalnya sambil titra yatra. Ini bedanya dengan upawasa Nyepi yang hanya
dilakukan di tempat, tidak boleh bepergian.
Pelaksanaan brata Siwa Ratri yang paling utama bersumber dalam sebuah
kekawin berbahasa Jawa Kuna yang bernama Siwa Rarti Kalpa buah cipta
dari Mpu Tanakung. Menurut Worsley, salah seorang peneliti sastra Jawa
Kuna, bagian-bagian tertentu dari kekawin Siwa Ratri Kalpa merupakan
terjemahan dari kitab Padma Purana Sansekertia.
Kakawin Siwa Ratri Kalpa ini di Bali terkenal dengan kakawin
Lubdhaka. Kakawin itu merupakan terjemahan dari bagian Utarakanda dari
Padma Purana. Dalam Padma Purana nama si pemburu adalah Nisada sedangkan
dalam kekawin Siwa Ratri Kalpa si pemburu bernama Lubdhaka. Nama Nisada
tidak dijumpai dalam kekawin Siwa Ratri Kalpa.
Lubdhaka dalam Padma Purana bukanlah nama, tetapi artinya pemburu.
Kalau boleh disimpulkan kekawin Siwa Ratri Kalpa adalah terjemahan bebas
dari Padma Purana kedalam sastra Jawa Kuna.
Kesimpulan ini menggambarkan bahwa para ilmuan, sastrawan dan
rokhaniawan Hindu di masa lampau telah demikian mahir berbahasa
Sansekerta. Tanpa pengetahuan dan penguasaan bahasa Sansekerta yang kuat
tidak mungkin Mpu Tanakung mampu menyusun kekawin Siwa Ratri Kalpa.
Tentang Mpu Tanakung, Prof. DR. Purbacaraka pernah menduga bahwa Mpu
Tanakung adalah seorang pegawai yang hidup pada zaman Ken Arok
memerintah di Jawa Timur. Purba-caraka juga berpendapat bahwa Mpu
Tanakung mengarang kekawin Siwa Ratri Kalpa adalah untuk mengambil hati
raja Ken Arok orang yang pernah sebagai perampok dan merebut istri
rajanya sendiri yaitu Tunggul Ametung.
Prof. Zoetmulder dan Prof. A. Teuw, keduanya peneliti sastra Jawa
Kuna yang tersohor, mendapatkan kesimpulan yang amat berbeda dengan
pendapat Prof. DR. Purbacaraka. Mpu Tanakung bukanlah seorang sastrawan
yang hidup pada zaman Ken Arok. Mpu Tanakung adalah seorang Rakai yang
hidup pada zaman Majapahit akhir, yaitu antara tahun 1466-1478 M. Itu
berarti sekitar dua setengah abad setelah pemerintahan Raja Ken Arok.
Ke-simpulan ini ditarik berdasarkan hasil penelitian “Waringin Pitu”
yang berangka tahun 1447 M dan prasasti Pamintihan berangka tahun 1473
M.
Kedua prasasti itu dikeluarkan oleh Raja Singawikrama yang mempunyai
nama kecil Suraprabhawa. Nama Suraprabhawa inilah yang tercantum dalam
menggala kekawin Siwa Ratri. Tujuan Mpu sebagai seorang yang suci atau
pendeta mengarang kekawin Siwa Ratri Kalpa adalah untuk menyebar luaskan
ajaran brata Siwa Ratri sebagai ajaran Hindu yang amat utama. Tidaklah
mungkin seorang Mpu yang suci menjilat sekali pun kepada rajanya
sendiri.
Dalam tradisi Hindu orang suci seperti Mpu mendapat kedudukan yang sejajar dengan seorang raja dalam fungsi yang berbeda.
Oleh karena itu Empu Tanakung dapat diyakini seorang, tokoh agama
yang menyebarkan ajaran suci agama Hindu termasuk ajaran Siwa Ratri.
Dapat dipastikan pula Empu Tanakung adalah seorang sastrawan
spiritual yang ahli bahasa Sansekerta dan ahli bahasa Jawa Kuna.
Kemahiran beliau dalam dua bahasa inilah yang menyebabkan beliau dapat
dengan mudah mendalami tatwa-adyatmika yang terdapat dalam sastra-sastra
Hindu seperti ajaran Siwa Ratri dalam Padma Purana.
Di Bali ajaran Siwa Ratri disebarkan dalam berbagai bentuk. Di Bali
terdapat lontar yang menguraikan keutamaan brata Siwa Ratri seperti
Geguritan Lubdhaka danLontar Lubdhaka Caritra. Kedua lontar itu terdapat
dalam koleksi lontar Fak. Sastra Unud Denpasar. Di Gedung Kertya
terdapat lontar Aji Brata yang juga menguraikan keutamaan brata Siwa
Ratri.
- Pelaksanaan Brata Siwa Ratri.
Tata pelaksanaan brata Siwa Rarti telah diseminarkan oleh PHDI Pusat
bersama dengan IHD Denpasar tahun 1984. Hasil seminar tersebut telah
ditetapkan oleh PHDI Pusat menjadi Pedoman Pelaksanaan Brata Siwa Ratri.
Brata Siwa Ratri dilaksanakan pada hari “Catur Dasi Krsna Paksa” bulan
Magha yaitu panglong ping empat belas sasihkapitu.
Tujuan brata Siwa Ratri untuk menemukan “kesadaran diri” (atutur
ikang atma rijatinia). Brata tersebut dilaksanakan dengan upawasa,
monabrata dan jagra. Monaartinya berdiam diri tidak bicara. Mona artinya
bertujuan melatih diri dalam hal berbicara agar biasa bicara dengan
penuh pengendalian sehingga tidak keluar ucapan-ucapan yang tidak patut
diucapkan. Mona berarti melatih pembicaraan pada diri sendiri dengan
merenungkan kesucian.
Sehabis sembahyang atau meditasi dan japa biasakan me-lakukan mona
atau agak membatasi berbicara. Hal ini akan bermaanfaat untuk memberikan
kesempatan pada berkembangnya “positif energi” untuk menggeser “parasit
energi.”
Positif energi dalam diri akan dapat memberikan kita kesehatan,
ketenangan dan kesucian. Kalau tiga hal ini dapat kita miliki dalam
hidup maka hidup yang bahagia lahir bathin akan semakin kita rasakan.
Demikianlah tiga tingkatan pelaksanaan brata Siwa Ratri berdasarkan
nista madya utama. Dari segi makna amat tergantung kesungguhan sikap
kita melaksanakan brata tersebut. Meskipun kita mengambil yang nista
namun sikap yang melandasi ber-sungguh-sungguh, maka yang nista itu pun
akan menghasilkan yang utama. (Sumber: www.hindu-dharma.org)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar