Pada beberapa bagian sejarah, Barat menyimpan tanda-tanda ke mana peradaban akan bergerak. Industrialisasi, demokrasi, kapitalisme, feminisme, teknologi hanyalah sebagian hal yang awalnya terjadi di Barat, kemudian menerjang tidak bisa ditahan ke seluruh dunia. Yang membuat hati sedih, ada negara berkuasa di Barat yang mulai menunjukkan sentimen anti-agama secara terang-terangan. Mudah-mudahan ini tidak menular ke berbagai belahan dunia.
Siapa saja yang rajin ke Barat di abad 21 ini, boleh bertanya ‘what
is your religion?’ (agama Anda apa). Dan siap-siaplah dijawab dengan
jawaban seperti ini: “stupid question” (pertanyaan yang bodoh). Seorang
pengajar di perguruan tinggi di Melbourne Australia, pernah bertanya ke
mahasiswanya di sebuah kelas: any one of you who have religion? (Siapa
yang beragama di sini?). Dan yang menaikkan tangan hanya segelintir
orang. Itu pun semuanya berwajah Asia.
Dari salah satu segi terlihat, agama di Barat lebih dipandang sebagai
beban dibandingkan identitas yang membahagiakan. Dan pada saat yang
sama, ada kecenderungan lain yang layak direnungkan. Di satu sisi ada
rasa dahaga manusia akan kedamaian. Terutama karena materialisme di
Barat sudah menunjukkan batas-batasnya. Bahkan menghasilkan terlalu
banyak penyakit. Dan di lain sisi, ada banyak komunitas spiritual yang
menjamur di Barat menawarkan kedamaian. Bersamaan dengan itu, tidak
sedikit tempat suci yang harus dijual karena tidak punya umat.
Ia menghadirkan tantangan baru bagi agama-agama ke depan yakni
bagaimana memuaskan rasa dahaga manusia akan kedamaian. Tanpa kemampuan
memuaskan rasa dahaga manusia akan kedamaian, lebih-lebih memperpanjang
daftar kekerasan yang sudah panjang, maka bukan tidak mungkin ada agama
yang mengalami kepunahan di masa depan.
Kalau boleh jujur, di mana-mana muncul generasi baru yang
mempertanyakan antara keindahan ajaran agama dengan realita keseharian
yang penuh kekerasan. Semakin jauh jarak antara realita dengan ajaran
agama, semakin sedikit ada generasi baru yang tertarik belajar agama.
Meminjam cerita Zen, setiap kata hanyalah jari yang menunjuk bulan.
Bahkan kata-kata Buddha digabung dengan kata-kata Shri Krishna dan Yesus
Kristus pun tidak bisa menghantar manusia menemukan pencerahan,
terutama bila hanya sebatas dimengerti kemudian dilupakan. Apa yang kita
tahu adalah sebuah tebing. Apa yang kita laksanakan dalam keseharian
adalah tebing lain. Dan jembatan yang menghubungkan keduanya bernama
latihan dalam keseharian.
Sulit membayangkan ada pencerahan tanpa ketekunan latihan dalam
keseharian. Sayangnya, ini yang tidak mau dilakukan oleh banyak orang.
Hanya berbekalkan intelek, kemudian berharap pencerahan. Ia serupa
dengan hanya melihat ujung jari yang menunjuk bulan tapi mau segera
sampai di bulan. Thich Nhat Hanh dalam Creating True Peace lebih konkrit
soal latihan. Di dalam diri kita ada bibit kedamaian sekaligus bibit
kemarahan. Perjalanan latihan bergerak semakin sempurna, ketika manusia
dalam keseharian menyirami bibit kedamaian, berhenti menyirami bibit
kemarahan. Cara terbaik melakukan ini adalah dengan mempraktekkan
kesadaran (mindfulness).
Dalam aktivitas apa pun (bangun, makan, bekerja sampai tidur lagi)
lakukanlah dengan penuh kesadaran. Bila kemarahan yang datang, senyumlah
sambil ingat untuk tidak mengikuti kehendak kemarahan. Tatkala
kedamaian yang berkunjung, senyumlah sambil sadar kalau kedamaian pasti
pergi. Sehingga ketika kedamaian betul-betul pergi, seseorang tidak
perlu kecewa.
Bila digoda orang menjengkelkan, fokuskan energi pada api amarah yang
ada di dalam. Lihat, senyum, jangan diikuti kemauan kemarahan. Bila ini
tidak membantu, ganti judul orang yang menjengkelkan dengan orang yang
membutuhkan uluran kasih sayang kita. Sebab bila judulnya menjengkelkan,
respon alaminya marah. Jika judulnya ia memerlukan kasih sayang kita,
maka respon alaminya adalah membantu.
Dibimbing latihan keseharian seperti ini, mudah bagi manusia bertemu
keteduhan, kesejukan kedamaian. Berbekalkan kedamaian dalam keseharian,
tubuh mudah sekali sehat, perjalanan jiwa sangat mungkin selamat. Dengan
benih kedamaian seperti ini, pelan perlahan keluarga akan ikut selamat.
Dan di zaman ini, dari keluargalah cahaya terang itu akan datang. Tidak
saja menerangi jiwa, tapi juga menerangi dunia.
- Sumber: gedeprama.blogdetik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar