Seorang turis Belanda yang baru kehilangan ayahandanya, bertanya ke
sana ke mari di Bali. Ia mencari orang suci yang bisa merubah
keberuntungan hidupnya. Ia ingin berevolusi dari hidup yang penuh
kesialan menjadi hidup yang penuh keberuntungan. Inilah tipikal sebagian
pencari di zaman ini. Mencari Guru suci bukan untuk menerangi jiwa,
tapi untuk merubah kehidupan agar senantiasa untung.
Seorang turis lain yang berasal dari Australia bercerita kalau ia sudah
mengunjungi banyak dukun di Bali. Di kelas meditasi ia bercerita,
kendati yang dicari untung, namun akhirnya yang ia dapatkan adalah
buntung. Seorang peserta meditasi dari Jakarta bercerita kalau ia sudah
pindah agama tiga kali. Dan di ketiga agama ia ditipu urusan uang.
Inilah contoh konkrit, yang dicari untung dapatnya buntung.
Tidak ada yang melarang manusia bercita-cita agar senantiasa untung.
Namun, kehidupan yang selalu ditandai oleh keuntungan materi khususnya
tidak pernah ada. Seperti cuaca di alam, atau seperti putaran waktu
malam dan siang, semua mengalir silih berganti tanpa bisa dihentikan.
Suatu hari ada pemuda di China yang pergi menunggangi kuda untuk
menemukan kuda liar. Setelah kembali, ia tidak saja gagal membawa kuda
liar, tapi kuda yang ia tunggangi hilang entah ke mana. Mendengar cerita
ini, tetangganya bergumam: “duh, betapa sialnya pemuda itu”.
Di hari berikutnya kudanya datang membawa banyak kuda liar. Tetangganya berkomentar: “duh, betapa untungnya anak itu”. Demikian gembiranya anak muda ini mendapatkan kuda liar, ia tunggangi salah satu kuda liar hingga jatuh serta patah kaki. Dengan spontan tetangganya berucap: “duh, betapa sialnya keluarga itu”.
Beberapa hari kemudian tentara China datang ke desa dan membawa paksa
banyak pemuda desa untuk menjadi tentara. Karena kaki anak muda tadi
sedang patah, ia tidak dibawa paksa oleh tentara China. Kali ini ayahnya
yang bergumam: “kamu ini anak yang penuh dengan keberuntungan”.
Dalam kadar yang berbeda, semua manusia mengalami siklus seperti ini.
Jika jiwa-jiwa menderita memaksa agar hidup senantiasa untung, jiwa-jiwa
dewasa belajar menjadi peselancar di atas gelombang kehidupan. Saat
kehidupan bergerak turun bersama kesialan, ia waktu untuk menggali lebih
dalam. Tatkala kehidupan bergerak naik bersama keberuntungan, ia
menjadi waktu untuk mengumpulkan energi.
Sebagaimana kerap dibagikan di kelas-kelas meditasi, sial dan untung
adalah sepasang tangan Tuhan yang datang untuk tujuan yang berbeda.
Begitu ia diyakini sebagai sepasang tangan Tuhan yang sama, lebih
sedikit terjadi pertempuran di dalam. Sekaligus lebih sedikit energi
yang terbuang percuma.
Siapa saja yang bisa menghentikan segala bentuk pertempuran di dalam,
tidak saja kolam pikirannya jadi tenang sempurna, tapi ia juga akan
menjadi magnet yang mengundang wajah kehidupan yang penuh dengan
keberuntungan. Mirip dengan sawah yang subur yang menghasilkan banyak
padi, pikiran yang tenang juga menghasilkan banyak keberuntungan.
Dan diantara banyak keberuntungan yang dihasilkan oleh pikiran yang
tenang, yang paling beruntung adalah hati yang senantiasa bersyukur.
Urutan ceritanya sederhana, ia yang berhasil menjadi peselancar di atas
gelombang kehidupan akan mengalami pikiran yang tenang. Pikiran yang
tenang mirip dengan kolam tenang yang membuat bunga lotus mekar. Dan
diantara semua bunga lotus yang mekar di dalam, yang terindah adalah
hati yang bersyukur.
- Sumber: gedeprama.blogdetik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar