"BUMI TIDAK MEMERLUKAN BANYAK ORANG PINTAR, BUMI LEBIH MEMBUTUHKAN LEBIH BANYAK HATI YANG INDAH" - Terima Kasih Sudah Berkunjung, Jangan Lupa BACA dan BERKOMENTAR !

Kamis, 01 Juni 2017

Berjumpa Guru Sejati

“Apa dan siapa itu Guru sejati?”, demikian pertanyaan yang kerap diungkapkan oleh banyak pencari. Tidak mudah menjawabnya. Sederhananya, bagi orang biasa yang belum tercerahkan, Guru sejati ada di luar. Bagi pencari yang baru tercerahkan, Guru sejati ada di dalam. Namun bagi ia yang sudah mengalami pencerahan sempurna, Guru sejati itu melampaui luar dan dalam.
Di Barat yang bahasanya lugas, ada yang mendefinisikan Guru sejati sebagai the unobscured suchness. Artinya, kepolosan yang memancar secara terang benderang. Guru sejati dalam kerangka berfikir ini jauh dari penghakiman. Pikirannya selalu polos memandang semuanya apa adanya. Namun dari kepolosan itu memancar cahaya yang indah menawan.
Namun di Timur yang bahasanya halus, para pencari sering diberi nasehat seperti ini. Tidak perlu mengejar kupu-kupu, cukup membuat bunga mekar indah menawan. Kalau bunga mekar indah menawan, secara alamiah kupu-kupu datang. Dengan cara yang sama, tidak perlu mengejar Guru sejati. Konsentrasikan energi untuk melaksanakan kesejatian (baca: tulus, halus, ikhlas). Ia yang di dalamnya kesejatian, secara alamiah akan bisa melihat Guru sejati.
Sejujurnya, di setiap putaran waktu ada Guru sejati. Sedihnya, sangat-sangat sedikit ada pencari yang bisa menemukan Guru sejati. Ada tipe pencari yang mirip laron yang mendekati api. Begitu ia dekat dengan Guru sejati, hidupnya terbakar berbahaya. Bahkan ada yang kehilangan nyawa. Ada pencari yang serupa sendok di tengah sop. Ia berada dalam jarak yang sangat dekat dengan Guru sejati, tapi ia tidak merasakan apa-apa. Ada pencari yang mirip batu yang nyemplung ke air. Ia hanya basah (baca: mengerti) di permukaan saja. Yang paling diberkahi adalah pencari yang menyerupai gula pasir yang dimasukkan ke air. Ia larut sepenuhnya dengar Guru sejati. Dan pada saat yang sama menghadirkan rasa manis bagi diri Guru sejati.
Para sahabat yang tipe laron, yang terbakar saat dekat dengan Guru sejati, disarankan belajar tatakrama berjumpa Guru sejati. Terutama sebelum kehidupan betul-betul terbakar secara menyedihkan. Pencari yang mirip sendok di tengah sop memerlukan kecerdasan dan kepekaan yang jauh lebih dalam. Pencari yang serupa batu di dalam air diundang untuk memahami semakin dalam. Terutama dengan melaksanakan apa yang diajarkan dalam keseharian.
Dan kualitas yang membuat seseorang bernasib sangat beruntung seperti gula pasir yang larut ke dalam air bernama bakti yang sempurna. Bentuk bakti kepada Guru sejati ada bermacam-macam. Tergantung pada seberapa dekat hubungan seseorang dengan Guru sejati. Untuk konsumsi publik pemula, bentuk bakti yang disarankan adalah melaksanakan inti sari ajaran dalam keseharian. Sampai suatu hari bisa melihat kehadiran Guru sejati di mana-mana.
Segelintir sahabat dekat di keluarga spiritual Compassion sering diberi nasehat seperti ini: “biasakan sejak awal untuk berkomunikasi dengan Guru tidak menggunakan bahasa manusia, melainkan menggunakan bahasa cahaya”. Maksudnya sederhana, selalu pandang Guru bukan sebagai manusia, tapi sebagai wakil alam cahaya yang hadir di sini untuk menerangi jiwa.
Sebagaimana telah dialami oleh pencari-pencari tingkat tinggi di Tantra, cara memandang Guru seperti ini membawa dampak penerangan ke dalam diri yang di luar dugaan. Sekaligus di luar apa yang bisa dimengerti pikiran orang biasa. Sering terjadi, tiba-tiba saja seorang pencari sudah sampai di tingkat ketinggian yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Ini mirip dengan konsep self-fulfilling prophecy di psikologi, yang mengajarkan bahwa manusia bisa menjadi sebagaimana yang mereka yakini.
Dan untuk sampai di tingkat seperti ini, di kedua belah pihak (Guru dan murid) harus cerdas. Kapan saja kehadiran Guru sejati membuat hidup jadi panas (mudah marah, mudah gelisah, mudah resah), itu tanda seseorang terlalu dekat. Jika kehadiran Guru sejati membuat seseorang jadi semakin gelap (bingung, canggung), itu tanda seseorang jaraknya terlalu jauh.
Dalam keadaan demikian, pintar-pintarlah membuka dan menutup jendela jiwa. Seperti membuka jendela rumah, pagi-pagi jendela dibuka agar udara segar. Saat siang yang panas jendela ditutup. Dengan cara yang sama, kalau panas menjauh dari Guru sejati. Kalau gelap, belajar mendekat. Tanda kalau jarak seseorang dengan Guru sejati itu tepat dan pas, jiwa bernasib seperti seorang bayi yang dekat dengan ibu kandungnya. Ada rasa aman, nyaman dan tentram di sana.
Penulis: Gede Prama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer