“Di zaman dulu, manusia disebut pahlawan karena berani menghancurkan kehidupan. Di zaman ini, orang disebut pahlawan karena berani menyayangi kehidupan”
“Menyembah
yang tidak terlihat, tapi menghancurkan yang terlihat”, itulah yang
dilakukan sebagian jiwa-jiwa menderita yang tergoda untuk melakukan
kekerasan. Jangankan manusia biasa, bahkan tempat suci pun dihancurkan.
Sedih tentu saja, namun kesedihan bukan benih-benih kekerasan. Kesedihan
adalah undangan untuk memercikkan tirtha memaafkan dan kasih sayang
pada setiap api kekerasan.
Sikap seperti ini diperlukan, terutama
karena penderitaan hadir di mana-mana. Jika di negara berkembang
manusia tidak bisa makan karena miskin, di negara maju yang kaya jumlah
manusia yang tidak bisa makan juga meningkat terus. Tentu bukan karena
miskin, melainkan tidak bisa makan karena ketakutan yang berujung pada
gangguan kesehatan.
Seorang kawan yang bekerja di sebuah kapal
pesiar super mewah dan super mahal bercerita, tidak sedikit orang super
kaya dari negeri yang kaya yang hanya minta dibikinkan telur rebus. Itu
pun sebagian dikembalikan karena tidak bisa dimakan. Pelajarannya
sederhana, orang miskin menderita karena kekurangan, orang kaya
menderita karena takut kehilangan.
Dan mirip dengan kegelapan
yang mengundang datangnya cahaya, hawa panas penderitaan di mana-mana
mengundang banyak jiwa untuk sebanyak mungkin berbagi hawa kesejukan.
Tidak perlu menunggu menjadi besar dan terkenal. Cukup dimulai dengan
apa-apa yang bisa dilakukan di lingkungan masing-masing.
Seorang
wanita bule di Ubud Bali rajin sekali memberikan makanan setiap hari
pada anjing-anjing jalanan yang tidak bertuan. Ini sudah dilakukan
selama bertahun-tahun. Tatkala ditanyakan hasilnya, wanita ini menjawab
sambil tersenyum indah sekali: “hadiah terindah cinta adalah cinta itu
sendiri”.
Dengan kata lain, siapa saja yang terus menerus
melakukan cinta dan kebaikan, sesungguhnya sedang melahirkan cinta dan
kebaikan di dalam diri. Tatkala cinta dan kebaikan lahir di dalam diri,
yang pertama kali sejuk dan teduh adalah yang bersangkutan.
Di
bagian selatan bumi bernama Australia pernah ada nenek yang merayakan
ulang tahun yang ke 100. Padahal ia ditinggal meninggal sama suaminya
selama 48 tahun serta tidak pernah menikah lagi. Saat ditanya rahasianya
apa, dengan tatapan mata yang polos nenek ini bergumam: “tatkala kita
merawat kehidupan, kita juga dirawat oleh kehidupan”.
Itu alasan
kenapa nenek ini selalu menyirami tanaman begitu bangun pagi, memberi
makan pada kucing kesayangannya, merawat semua benda-benda peninggalan
almarhum suaminya, sering mengundang cucu-cucunya untuk menikmati kue
bikinan sang nenek.
Pesan bimbingannya sederhana, alam dan
kehidupan mirip dengan jejaring laba-laba. Apa yang dilakukan di sana
akan balik ke diri yang bersangkutan. Ia yang berbagi senyuman akan
mendapatkan senyuman. Ia yang berbagi cahaya akan mendapatkan cahaya. Ia
yang sering mendekap akan didekap balik.
Siapa saja yang
mengerti dan menerapkan ini dalam-dalam, suatu hari tidak saja menemukan
kehidupan yang sejuk dan lembut, tapi juga berbagi kesejukan dan
kelembutan kepada dunia yang sedang panas dan ganas di sana-sini.
Sekaligus, inilah tirtha yang sangat dibutuhkan oleh dunia yang sedang
terbakar di sana-sini. Siapa saja yang tekun dan tulus memercikkan
tirtha kesejukan dan kelembutan setiap hari, setiap langkahnya berbunyi
seperti ini: “damai, damai, damai”.
“Sebuah sikap yang indah memancarkan jauh lebih banyak cahaya dibandingkan dengan jutaan manusia yang marah-marah“
- Sumber: www.belkedamaian.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar