Suatu hari ada anak kecil sedang menggali pasir di pinggir pantai
menggunakan tangannya yang juga kecil. Tatkala ditanya apa yang ia
lakukan, dengan polos anak kecil ini menjawab: “saya mau memasukkan
semua air samudera ke dalam sumur bikinan saya sendiri”.
Seperti
itulah nasib banyak manusia di zaman ini. Kehidupan dan Tuhan seluas
samudera. Tapi pikiran manusia mirip dengan sumur kecil. Sedihnya,
majunya pendidikan membuat sebagian manusia demikian percaya dirinya
seolah-olah bisa mengerti semuanya dengan pikiran semata. Ujungnya mudah
ditebak, di mana-mana terlihat mata manusia yang bercerita, kalau
mereka terasing atau tidak betah dalam tubuh mereka sendiri.
Seorang
sahabat yang menghabiskan waktu puluhan tahun menjadi konsultan
sejumlah perusahaan besar, serta mengerti isi perut banyak organisasi
korporasi bercerita, tidak sedikit orang yang pikirannya terlalu kuat
yang menimbulkan kekeliruan-kekeliruan berbahaya. Tidak saja membuat
organisasi yang ia pimpin merana, tapi juga membuat sebuah bangsa
menderita.
Sebagian dari orang-orang yang pikirannya terlalu kuat
itu bahkan harus wafat di usia muda. Serta menyisakan banyak luka jiwa
pada orang-orang sekitar. Pikiran yang terlalu kuat mudah membatu.
Sebagai akibatnya, mudah menimbulkan benturan di sana-sini. Dalam kisah
sejumlah organisasi profesi yang diisi banyak orang dengan pikiran
terlalu kuat, setiap kali mereka rapat setiap kali itu juga ada yang
lempar kursi.
Angka bunuh diri yang menaik di mana-mana, tingkat
perceraian yang juga menaik, korban narkoba yang meningkat di seluruh
penjuru dunia, semuanya memiliki kaitan dengan pikiran yang terlalu
kuat. Salah satu ciri penting pikiran yang terlalu kuat, ia diisi oleh
harapan yang demikian mencengkram, terutama agar orang lain berperilaku
sesuai dengan apa yang mereka harapkan.
Di sesi-sesi meditasi
sering terbuka rahasianya. Sahabat-sahabat yang pernah mencoba bunuh
diri berkali-kali, terkena penyakit berbahaya seperti kanker dan stroke,
semuanya ditandai oleh pikiran sangat kuat sekaligus sangat
mencengkram. Pikiran seperti ini tidak saja berbenturan ke luar, tapi
juga berbenturan ke dalam. Sebagai akibatnya, seseorang jadi kehabisan
banyak energi sehingga mudah sakit.
Dan sebelum kehidupan terjun
ke jurang berbahaya, mari belajar melatih pikiran agar lebih lentur dan
lebih luwes. Seperti air yang luwes dan lentur. Tidak saja lebih sedikit
benturan yang terjadi dengan orang lain, tapi juga lebih sedikit energi
yang terbuang percuma. Tidak saja badan jadi lebih sehat, tapi jiwa
juga menjadi lebih bercahaya.
Salah satu kualitas penting dalam
hal ini yang layak dikembangkan adalah penghargaan akan perbedaan.
Meminjam pesan sebuah buku suci: “Ekam sat vipra bahudha vadanthi”.
Kebenaran itu satu, tapi orang-orang suci memberinya banyak nama.
Perhatikan kotoran sapi. Bagi orang kota yang tidak mengenal pertanian,
kotoran sapi adalah kotoran yang harus dibuang. Namun bagi petani di
desa, kotoran sapi adalah pupuk yang mempersubur tanaman.
Hal
yang sama terjadi dengan perbedaan pandangan, perbedaan gagasan,
perbedaan disiplin ilmu, perbedaan latar belakang serta
perbedaan-perbedaan lainnya. Jika pikiran yang terlalu kuat meletakkan
perbedaan sebagai musuh yang berbahaya, pikiran yang luwes dan lentur
melihat perbedaan sebagai benih-benih yang bisa membuat jiwa jadi
bercahaya. Jika pikiran terlalu kuat mengambil yang benar dan membuang
yang salah, pikiran yang luwes mensintesakan salah-benar, buruk-baik
menjadi benih-benih cahaya. Mirip dengan apa yang terjadi dengan cahaya
listrik sebagai hasil sintesis negatif-positif.
Sebagai langkah
keseharian yang mudah dicerna dan mudah dilaksanakan, senyuman sangat
membantu dalam hal ini. Manakala seseorang tekun berlatih tersenyum,
otot-otot keras di dalam pikiran semakin lentur. Pada saat yang sama,
lebih sedikit energi yang terbuang. Senyuman juga sejenis sintesa
negatif-positif di dalam diri yang mudah memunculkan cahaya. Dan di
puncak senyuman, jiwa tidak menemukan apa-apa selain kedamaian.
- Sumber: www.belkedamaian.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar