Sebagai manusia biasa yang ditunjuk
menjadi pemimpin, sayapun dihinggapi penyakit, mau menang di depan
bawahan. Sayangnya, semakin penyakit tadi muncul, semakin saya dibawa
jauh dari jalan keluar. Entah bagaimana pengalaman orang lain. Ternyata
badan dan jiwa saya termasuk tipe yang tidak mau diajak ke dalam
kehidupan menang-menangan. Semakin diajak ke sana, semakin rusak
rasanya.
Di tengah kegundahan hidup semacam ini,
seorang rekan dari Amerika mengirimi saya sebuah buku menarik. Buku yang
ditulis oleh David Maraniss dengan judul When Pride Still Mattered : A
Life of Vince Lombardi, bertutur apik tentang filosopi
hidup seorang pelatih sepak bola legendaris bernama Vince Lombardi.
Hidup, memang tidak berbeda jauh dengan permainan sepak bola. Ada
pertandingan. Ada pihak yang menang dan kalah. Ada perjuangan. Ada awal dan ada akhir.
Kompetisi memang membawa vitalitas
dalam kehidupan. Membuat kehidupan menjadi lebih bergairah. Bangun pagi
jadi bersemangat. Akan tetapi, sebagaimana permainan sepak bola, tidak
pernah ada kehidupan yang senantiasa berisi kemenangan. Menang dan kalah
adalah dua hal yang senantiasa bergandengan saling melengkapi. Ada yang
menang karena ada yang kalah. Untuk itulah, agar supaya stamina hidup tetap terjaga penting sekali kita menguasai diri sendiri sebelum menguasai orang lain.
Dalam kaitannya dengan usaha menguasai
diri sendiri Maraniss menulis amat apik: Be proud and unbending in
defeat, yet humble and gentle in victory. Dengan kata lain, banggalah ketika kalah dan rendah hatilah ketika Anda menang. Mungkin bagi Anda ini biasa-biasa saja. Namun, bagi saya yang hidup dalam lingkungan kehidupan yang mendewakan kemenangan, petuah terakhir amat menggugah.
Bagaimana tidak menggugah, di tengah
suasana hati yang kisruh gara-gara nafsu penuh kemenangan, tiba-tiba ada
orang yang mengajak bangga untuk sebuah kekalahan. Dan seperti
kejuaraan sepak bola, bukankah kita yang duduk di juara dua, tiga atau
yang tidak dapat piala, menjadi tangga yang mengangkat sang juara
tinggi-tinggi?. Dan lebih hebat lagi, sudah menjadi tangga yang diinjak
juara, sering juga dicemoohkan orang lain. Bukankah amat mulia, di satu
sisi mengangkat orang lain, dan di lain sisi kita direndahkan derajat
kita oleh orang lain?
Saya tidak tahu keyakinan Anda, namun saya merasa sudah menjadi pemenang setelah memahami prinsip banggalah ketika kalah.
Sebab, kemenangan sebenarnya ada di sini: di dalam diri sendiri. Dan
ia mesti diperjuangkan terus menerus. Seperti ditulis Maraniss:
complete victory can never be won, it must be pursued. Memang, tidak
pernah ada kemenangan yang sempurna, ia mesti senantiasa diperjuangkan.
Di kesempatan lain, saya menyebutnya dengan logic of discovery bukan
logic of perfection. Sebuah logika yang tidak mengkonsentrasikan pada
kesempurnaan, namun pada penemuan dan perjalanan sehari-hari.
Setiap penemuan, ibarat sebuah penyucian
yang mencerahkan. Tandanya sederhana, mulut berbentuk bundar sambil
mengucapkan “O”, jiwa tercerahkan, dan stamina fisik serta psikologis
meningkat. Dan pengalaman saya bertutur, semua ini bersembunyi amat rapi
di balik banyak sekali hempasan gelombang hidup.
Hanya dengan membaca, kita memang bisa
tahu. Akan tetapi, pendalaman dengan pengertian lebih mungkin hadir ke
mereka yang pernah lewat dari hempasan gelombang kehidupan yang ganas.
Dan inilah yang membuat saya berhutang banyak pada Universitas Kesulitan. Sebuah sekolah yang amat saya banggakan. Melebihi kebanggaan pada sekolah saya di Inggris dan Prancis.
Anda, saya yakin pasti punya pengalaman
tersendiri. Sebagaimana sidik jari yang unik, ia tentu saja bermakna
unik juga. Hanya saja, pengalaman saya bertutur, Tuhan sebenarnya
berkomunikasi dengan kita setiap hari. Sekali lagi, setiap hari. Melalui
apa? Tentu saja melalui kejadian-kejadian yang lewat di depan mata.
Cuman, ada orang yang menangkap makna kejadian yang lewat di depan mata
melalui seluruh kepekaannya, ada orang yang tuli dan buta dengan semua
itu. Dalam bingkai berfikir seperti ini, saya mensyukuri baik kemenangan maupun kekalahan. Keduanya sama-sama menghadirkan kebanggaan. Bahkan dalam kekalahan, kebanggaan bercampur dengan kemuliaan.
(Sumber: https://annunaki.me)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar