Suatu hari Nasrudin jiwanya resah dan gelisah. Di sini salah di situ
musibah. Jangankan tetangga yang marah-marah, bahkan Tuhan pun terlihat
salah di mata Nasrudin. Macam-macam keluhan yang dikemukakan Nasrudin
kepada Tuhan. Konon gara-gara menumpuknya keluhan Nasrudin, Tuhan jadi
tidak bisa tidur.
Maka di suatu pagi Tuhan berbisik lembut kepada Nasrudin: "Din, agar tidur saya nyenyak, minta apa saja, asal tiga kali
akan saya penuhi". Mendadak saja Nasrudin gembira tidak terkira, secara
spontan ia meminta agar istrinya segera wafat. Masih menurut Nasrudin,
gara-gara istrinya rumahnya jadi neraka membara.
Di hari
berikutnya benar saja istri Nasrudin wafat. Dan tetangga pun berdatangan
lengkap dengan komentarnya. Ada yang bergumam begini: "wanita yang
sangat menyayangi keluarga". Tetangga lain menyebut istri Nasrudin
wanita yang rajin beribadah. Dan yang membuat Nasrudin menangis, ada
yang berbisik begini: "memang, kalau orang baik cepat dipanggil Tuhan".
Mendengar komentar terakhir, Nasrudin lari ke belakang rumah
memanggil-manggil nama Tuhan. Setelah Tuhan muncul, pria yang sedang
berduka ini meminta janji Tuhan yang ke dua agar istrinya dihidupkan
kembali. Beberapa hari kemudian, sadar kalau janji Tuhan tinggal satu,
ia tanya ke sana ke mari apa yang sebaiknya diminta ke Tuhan untuk
terakhir kalinya.
Tetangga pertama menyebutkan: "mintalah uang
Din, dengan uang kamu bisa beli apa saja". Tetangga ke dua bilang: "apa
gunanya uang kalau kamu sakit-sakitan. Mintalah kesehatan. Tetangga yang
ketiga lebih rumit lagi: "apa gunanya uang dan kesehatan kalau kamu
mati. Mintalah kehidupan tanpa kematian". Ujungnya, Nasrudin kembali
pada kebingungan di awal. Semuanya serba salah.
Merasa diri
sedang dikerjain Tuhan, kali ini Nasrudin ngambek tidak memanggil Tuhan.
Ditunggu sampai 11 tahun ia tetap diam seribu bahasa, di tahun ke 11
giliran Tuhan yang mendatangi Nasrudin: "Din, saya masih hutang satu
sama kamu, kenapa tidak diminta?". Dengan tidak menoleh Nasrudin
menjawab: "serba salah Tuhan. Sekarang menyangkut permintaan terakhir,
semuanya diserahkan pada Tuhan saja".
Sambil tersenyum lembut
Tuhan bergumam lembut: "benar Din, apa kamu tidak menyesal?". Lagi-lagi
Nasrudin mengangguk yakin. Kali ini Tuhan berbisik pelan meyakinkan:
"mintalah hati yang penuh dengan rasa syukur". Tentu saja Nasrudin
bingung dan bertanya kenapa. Dengan tatapan mata yang lembut Tuhan
menjawab: "dengan hati yang bersyukur, ke mana pun kaki melangkah jiwa
akan terasa indah".
Kisah Nasrudin ini adalah kisah banyak sekali
manusia. Memulai perjalanan dengan kebingungan, serta berakhir di
kebingungan yang sama. Jangankan orang desa yang tidak disentuh
pendidikan, bahkan sebagian orang yang disentuh pendidikan tinggi pun
berputar di lingkaran kebingungan yang sama.
Tidak ada yang
melarang orang untuk memiliki ijazah yang tinggi, tidak ada yang
melarang orang untuk memiliki pencapaian material dan spiritual yang
juga tinggi. Tapi tanpa rasa syukur yang mendalam, ijazah yang tinggi
dan pencapaian yang tinggi akan memperpanjang daftar panjang kegelisahan
yang sudah panjang.
Itu sebabnya jiwa-jiwa yang dalam lebih
tertarik dengan menemukan kebahagiaan pada setiap kekinian. Semua
kekinian - dari makan, kerja, doa, hingga minum secangkir kopi - dilihat
dari sisi-sisi yang membahagiakan. Bagi jiwa jenis ini, hidup penuh
dengan hujan berkah. Keinginan yang tidak terkendali yang merubahnya
menjadi hujan musibah.
(Sumber: www.belkedamaian.org)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar