"BUMI TIDAK MEMERLUKAN BANYAK ORANG PINTAR, BUMI LEBIH MEMBUTUHKAN LEBIH BANYAK HATI YANG INDAH" - Terima Kasih Sudah Berkunjung, Jangan Lupa BACA dan BERKOMENTAR !

Sabtu, 03 Juni 2017

Hanya Teori Belaka

Dunia ini memang selalu menghadirkan dua sisi pemandangan yang kontras. Baik - buruk, benar - salah, kaya - miskin dan banyak lagi. Ditolak pun pemandangan dua sisi ini tetap saja subur tersemaikan disetiap tempat berkumpulnya antara manusia.

Seperti juga kekontrasan dalam diri, seperti ketakutan dan keberanian yang tidak pernah berhenti muncul silih berganti. Tak ada bedanya gaya jalan zig-zag yang tak pernah membawa pengendara berada dalam posisi tengah yang stabil. Namun lucunya, yang sedang berjalan zig-zag pun tak berhenti menasihati orang jalan zig-zag lainnya agar berjalan lurus dan normal.

Coba perhatikan dengan cermat dan jujur, mengapa permasalahan (kontra) kerap muncul bahkan sudah menjadi hiasan pada setiap hari kehidupan, seperti orang-orang miskin ingin kaya? atau orang-orang kecil ingin menjadi orang besar? lalu perhatikan juga, mengapa beberapa orang menjauh dari kumpulannya?

Seseorang tidak akan membutuhkan kekayaan, tidak membutuhkan uang lebih jika saja kekayaan yang beberapa orang bijak jelaskan bahwa kekayaan tidak penting, hidup harus apa adanya dan sebagainya yang bijak-bijak. Tetapi pada kenyataannya keadaan miskin selalu mempersulit. Karena kemiskinan seseorang disalahkan akibat dirasakan tidak memiliki kemampuan, tidak hebat dan semacamnya.

Marilah jujur! Pertanyaannya adalah, lalu yang manakah yang benar? dan apa tujuan hidup yang sesungguhnya? jika baik, benar dan kaya yang orang bijak katakan itu tidaklah penting namun pada kehidupan nyata itu sangatlah penting karena dapat berpengaruh pada pandangan seseorang pada orang lainnya.

Mengapa kita tak pernah mendapat antara jawaban dan kenyataan, bahkan selalu kontras. Bolehkah semua ini kita sebut kemunafikan? Bolehkah semua ini kita sebut hanya teori?

Oleh: Komang Gora

Jumat, 02 Juni 2017

Jejak-jejak Makna VII

Di Prancis Selatan dan Spanyol Utara para arkeolog menemukan gua-gua tua yang berumur puluhan ribu tahun. Di sana terpampang ukiran-ukiran tua tentang pahlawan-pahlawan pemberani lengkap dengan binatang buas hasil buruan mereka. Lewat peninggalan ini terlihat jelas, sudah puluhan ribu tahun manusia mengidentikkan tokoh (pahlawan) sebagai orang yang bertumbuh di tengah kekerasan. Belakangan ini diperparah oleh sejarah agama-agama yang penuh kekerasan, negara-negara berkuasa yang mendapat untung besar melalui penjualan senjata. Ujungnya, sejarah bertumbuh dari satu kekerasan menuju kekerasan yang lain.
 
Sahabat-sahabat yang mata spiritualnya terbuka mengerti, keputusan presiden AS Donald Trump melarang masuk 7 warga negara yang mayoritas beragama tertentu, merubah secara sangat drastis perimbangan energi di muka bumi. Kekerasan yang diharapkan dan didoakan oleh banyak pihak agar menurun, ternyata malah tambah menyentuh hati. Di tengah putaran waktu seperti ini, dunia memerlukan kembali Cahaya yang pernah memancar melalui Mahatma Gandhi. Di banyak kesempatan, pria kurus yang tidak punya rambut ini sering berpesan: “non-violence should never be used as a shield for cowardice. It is a weapon for the brave”. Tanpa kekerasan bukanlah perisainya jiwa penakut, tapi senjatanya para pemberani. Sebuah cara pandang yang sangat melawan arus. Tapi terbukti bisa mengusir tentara terkuat di dunia di tahun 1940an.

Banyak generasi baru yang bertanya penuh keraguan, apakah tanpa kekerasan cocok diterapkan di zaman ini? Tergantung roh dan spirit yang disimpan seseorang di balik tindakan tanpa kekerasan. Jika roh dan spiritnya adalah uang dan kekuasaan, sebaiknya ide tanpa kekerasan dilupakan saja. Tapi jika roh dan spiritnya adalah belas kasih (compassion) untuk mengurangi beban penderitaan dunia yang sangat menyentuh hati, jangan pernah ragu dengan ide tanpa kekerasan. Perhatikan salah satu warisan jiwa bercahaya ini: “The rishis who discovered the law of non-violence in the midst of violence were greater geniuses than Newton. They were themselves greater warrior than Wellington”.

Jiwa-jiwa suci yang menemukan tanpa kekerasan di tengah zaman yang penuh kekerasan, mereka imuwan yang lebih agung dibandingkan ilmuwan mana pun, mereka pahlawan lebih agung dibandingkan pahlawan mana pun. Kesimpulannya, ikan tidak berubah menjadi ikan asin saat bertumbuh di laut yang asin. Anda juga tidak perlu berubah menjadi manusia yang tertarik dengan kekerasan, kendati tumbuh di zaman yang penuh dengan kekerasan.

Penulis: Gede Prama

Jejak-jejak Makna VI

Apa yang sesungguhnya berada di balik perilaku manusia anarkis?, itu pertanyaan banyak manusia sejak dulu. Ada yang mengkaitkannya dengan agama, ada yang mengkaitkannya dengan trauma, ada yang mengkaitkannya dengan jiwa yang miskin cahaya. Dan Anda pun boleh menambahkannya dengan daftar yang lain. Tapi setelah berjumpa ribuan sahabat yang sakit begini sakit begitu, ribuan remaja yang berpotensi untuk berbuat anarkis, di sana ada kilatan cahaya pengertian yang muncul, ternyata perasaan tidak pernah cukup menjadi kekuatan yang menentukan di balik perilaku manusia yang anarkis. Perasaan tidak cukup inilah yang membuat remaja mencari pacar, orang dewasa mencari pasangan hidup, bahkan orang dewasa yang sudah punya pasangan hidup pun ada yang selingkuh. Jangankan orang miskin, bahkan manusia sudah sangat kaya pun masih merasa jauh dari cukup.
 
Lingkungan seperti ini diperparah lagi oleh godaan iklan setiap hari. Semua iklan menggoda dengan pesan seperti ini: “Anda bisa hidup jauh lebih bahagia kalau membeli barang-jasa kami yang terbaru”. Di Barat di mana konsumerisme sudah bertumbuh jauh lebih dahulu ditemukan penemuan yang sangat menyentuh hati: “jika di negara-negara berkembang manusia tidak bisa makan karena tidak punya uang, di negara-negara maju ditemukan sejumlah manusia yang juga tidak bisa makan – jumlahnya juga terus menerus bertumbuh dari tahun ke tahun, tentu bukan karena tidak punya uang. Tapi karena hidupnya penuh ketakutan”. Di titik inilah diperlukan kehadiran pahlawan spiritual seperti Laurie Ashner dan Mitch Meyerson, yang menulis buku indah “When Is Enough, Enough?”. Kapan cukup itu terasa cukup?. Sebuah pertanyaan besar yang sangat sulit untuk dijawab.

Sebagai bahan awal untuk bertindak, cermati salah satu temuan Ashner dan Meyerson: “ketika kita menekan perasaan yang menyakitkan, kita juga kehilangan perasaan yang membahagiakan”. Teman-teman yang belajar psikologi mengerti, tumpukan perasaan-perasaan yang ditekan sejak saat kecil itulah yang mengikuti manusia seperti bayangan yang mengikuti tubuh ke mana pun ia pergi. Salah satu wajah sang bayangan yang muncul di usia dewasa atau usia tua adalah perasaan tidak pernah cukup. Terinspirasi dari sini, latih diri untuk sesedikit mungkin menekan sejak awal. Temukan sarana mengekspresikan diri secara sehat dan selamat. Entah menulis entah melukis.

Kemudian, sembuhkan jiwa dengan banyak menolong serta sesedikit mungkin menyakiti. Mengutip salah satu bagian buku Ashner dan Meyerson: “empati sejati adalah karunia yang hanya diterima oleh segelintir orang”. Dengan kata lain, tatkala Anda berempati dengan penderitaan orang lain, Anda tidak saja sedang menyembuhkan diri, tapi juga sedang membuat jiwa Anda penuh dengan karunia.

Penulis: Gede Prama

Jejak-jejak Makna V

Dalam percakapan pribadi dengan penulis buku History of God Karen Armstrong, seorang sahabat bertanya tentang latar belakang penulisan buku legendaris ini. Dengan lugas wanita Inggris ini menjawab: “konsep Tuhan dan agama sudah menjadi sumber banyak kekerasan selama ribuan tahun”. Sebuah jawaban jujur dari seorang yang menekuni perjalanan agama-agama selama ribuan tahun. Dan melihat apa yang terjadi di muka bumi beberapa tahun terakhir, layak direnungkan lagi dan lagi konsep Tuhan dan agama yang melahirkan banyak kekerasan. Sebagaimana telah dicatat sejarah, semua agama berumur sangat tua. Dalam perjalanan tua ini, tidak saja pesannya diterjemahkan dengan bahasa yang berbeda-beda, tapi juga ditafsirkan oleh kekuasaan yang berbeda-beda.
 
Dalam konteks inilah, kehadiran seorang J. Krishnamurti sangat diperlukan. Dalam mahakaryanya yang berjudul “Freedom From The Known”, terang-terangan salah satu jiwa bercahaya di zaman ini berpesan: “kebebasan kedamaian tidak bisa ditemukan dengan mengikuti sekte atau agama tertentu. Tapi dengan cara membebaskan diri dari segala bentuk pengkondisian”. Dalam psikologi, pengkondisian yang sering membuat manusia sakit adalah luka jiwa dari masa kecil. Dalam spiritualitas, pengkondisian yang sangat memenjara adalah dogma-dogma. Tatkala orang Amerika merayakan sekian tahun diruntuhkannya gedung kembar WTC di New York oleh serangan teroris, ada yang mau membakar buku suci agama tertentu. Dan itu juga sebuah dogma yang tidak saja memenjara, tapi juga akan memperpanjang daftar panjang kekerasan yang sudah panjang.

Sebagaimana api tidak bisa dipadamkan dengan api, kekerasan tidak bisa diselesaikan dengan kekerasan, dogma juga tidak bisa ditenangkan dengan menggunakan dogma yang lain. Api yang panas hanya bisa dipadamkan oleh air yang lembut. Kekerasan yang ganas hanya mungkin ditentramkan oleh kelembutan kesabaran. Dogma yang keras mungkin dinetralkan dengan kelembutan cinta kasih. Untuk itu, apa yang dibutuhkan dunia tidak lagi senjata yang baru. Namun hati yang baru. Sejenis hati yang bebas dari segala pengkondisian yang datang dari masa lalu. Krisnamurti memberi umat manusia kendaraan menuju ke sana. Kendaraannya bernama choiceless awareness.

Kesadaran yang tidak memilih. Dengan kesadaran jenis ini, pelan perlahan pikiran jadi bersih, perasaan jadi jernih. Manusia belajar tidak lagi menjadi second hand human being (baca: melihat dunia dengan mata orang lain). Untuk kemudian, melihat hari ini secara segar. Tanpa dikotori oleh segala dogma yang datang dari masa lalu. Kesimpulannya sederhana, belajar agama itu baik. Menyembah Tuhan juga baik. Tapi jangan pernah menggunakan agama dan Tuhan sebagai alasan untuk menjadi budak kekerasan dan kemarahan. Dalam bahasa Krisnamuriti, agama ada untuk membebaskan umat manusia (to set people unconditionally free).

Penulis: Guruji Gede Prama

Jejak-jejak Makna IV

Di zaman keemasan dulu, segelintir jiwa suci bisa bercakap-cakap langsung dengan Tuhan. Namun di zaman gelap ini, kalau ada yang mengaku bisa bercakap-cakap dengan Tuhan, siap-siaplah dicurigai memiliki kelainan mental. Itu sebabnya, mudah dimengerti kalau ada filsuf yang menulis: “kebenaran mirip kaca cermin yang sudah pecah. Tugas terpenting manusia adalah merangkai kembali pecahan-pecahan kaca itu”.

Dalam konteks ini, doktor fisika lulusan Universitas Vienna bernama Fritjof Capra layak diberikan apresiasi. Terutama karena beliau menghabiskan banyak waktu untuk merangkai kembali “pecahan-pecahan kaca” tadi. Dalam mahakaryanya yang berjudul The Tao of Physics, peneliti berpengalaman yang sudah meneliti energi tingkat tinggi di banyak Universitas baik di Eropa maupun Amerika ini, melakukan paralel antara fisika modern dengan mistik Timur.
 
Yang paling menyentuh hati, di bab pertama buku best-seller ini, Dr. Capra memberi judul bab terawal bukunya seperti ini: “Modern physics – A Path with a Heart”. Fisika tidak saja memperkaya kepala, tapi juga memperkaya hati. Fisika tidak saja membimbing manusia menuju kebenaran, tapi juga membimbing jiwa menuju keindahan. Fisika bisa membuat kehidupan berbahaya, bisa juga membuat jiwa bercahaya. Itu sebabnya, di bagian tertentu buku sangat indah ini, ahli fisika ini berpesan, fisika bisa membawa manusia ke salah satu arah dari 2 B: “bom atau Buddha”. Kalau manusia belajar fisika hanya menggunakan kepala, lebih-lebih kepala yang picik dan licik, maka fisika akan melahirkan bom yang membunuh. Manakala manusia belajar fisika menggunakan hati yang indah, fisika membimbing manusia berjumpa Buddha yang sangat bercahaya (baca: pencerahan).

Bukan jiwa bercahaya namanya kalau seseorang meninggikan pendapat dirinya dan merendahkan argumen orang lain. Kendati Dr. Capra sangat berjarak dengan fisika Newton yang mekanistik, sekaligus jatuh cinta dengan filosofi Timur yang holistik, di ujung buku ini beliau tidak membuang fisika mekanistik. Yang disarankan adalah “dynamic interplay” diantara keduanya. Bukan memilh antara mekanistik atau holistik, tapi bergerak dinamis diantara keduanya. Ini cocok dengan pendekatan meditasi yang menekankan choiceless awareness. Seseorang hanya menyaksikan setiap gerakan energi di dalam. Tanpa memilih. Kalau pun suatu waktu harus memilih keputusan, seseorang akan memilihnya secara jernih dan bersih. 

Warisan spiritual yang tersisa dari sini, latih diri untuk tidak kaku dengan konsep kebenaran. Jika arahnya adalah bom yang membunuh, jangankan diperintah oleh kebenaran, jika merasa diperintah oleh Tuhan pun jangan dilakukan. Ingat pesan Dr. Capra di awal: Modern physics – A path with a Heart. Fisika tidak diniatkan untuk membuat bom yang membunuh. Fisika diniatkan agar jiwa-jiwa banyak berjumpa Buddha (pencerahan). Ringkasnya, fisika khususnya dan iptek umumnya, tidak diniatkan untuk membuat perjalanan jiwa berbahaya. Tapi diniatkan agar perjalanan jiwa bercahaya.
Penulis: Gede Prama

Jejak-jejak Makna III

Sekian tahun lalu, tatkala George W. Bush masih menjadi presiden AS, beliau pernah mengunjungi Bali, serta berjumpa salah satu tokoh spiritual di Bali ketika itu. Dalam percakapan pribadi, presiden negara adi kuasa ini bertanya heran: “di suatu malam tatkala satelit NASA mengitari Nusantara, semua pulau di kawasan ini gelap. Satu-satunya pulau yang memancarkan Cahaya hanya pulau Bali. Dengan heran bapak presiden bertanya: Cahaya apa itu?”. Sebagaimana cahaya listrik yang muncul sebagai hasil sintesis negatif-positif, demikian juga Sang Cahaya. Ia akan mudah muncul di tempat-tempat di mana manusia “mensintesakan” energi negatif dengan energi positif.

Dan tetua Bali sudah lama sekali menyebut jiwa manusia dengan sebutan “dewa ya kala ya”. Artinya, ada setan sekaligus Tuhan dalam jiwa manusia. Dengan kata lain, setan tidak dipertentangkan dengan Tuhan. Melainkan disintesakan. Itu sebabnya, Bali menjadi salah satu tempat langka di dunia, di mana mahluk bawah bukannya ditakuti, bukannya dibenci, melainkan diberi suguhan. Itu bukan berarti tetua Bali menyembah setan. Sekali lagi bukan!. Tapi itu ekspresi cinta kasih yang sempurna. Tanpa kegelapan tidak ada Cahaya. Tanpa kekerasan, maka kedamaian akan kehilangan cita rasa. Mudah dipahami kalau kemudian Bali menjadi satu diantara sangat sedikit tempat di dunia di mana kekerasan teroris tidak dilawan dengan kekerasan. Tapi diikuti dengan upacara yang penuh kasih sayang. Upacara yang mendoakan keselamatan dunia.

Dalam konteks ini, tidak sulit mengerti kalau Bali menjadi satu-satunya tempat di dunia yang merayakan tahun baru dengan hari raya Nyepi. Ringkasnya, tatkala semua buruk-baik, kotor-suci, gagal-sukses membawa Cahaya makna, maka lidah mana pun akan kurang panjang untuk bisa menjelaskannya. Yang tersisa kemudian hanya kehidupan sebagai lautan senyuman. Yang perlu diendapkan oleh generasi baru, keheningan bukan kawannya ketidakpedulian. Sekali lagi bukan!.

Sebagaimana sifat alami bunga yang indah, sifat alami air yang basah, sifat alami keheningan selalu mekar dalam bentuk hati yang indah. Tidak kebetulan kalau sekian tahun setelah bom teroris meledak di Bali, seorang wanita Amerika mencari jawaban ke seluruh dunia. Ternyata jawabannya indah sekali: “makanan enak ditemukan di Italia, doa indah terdengar di India. Tapi cinta yang menyentuh hanya ditemukan di pulau Bali. Cahaya indah inilah yang ditanyakan dan dirindukan oleh mantan presiden AS George W. Bush.

Penulis: Gede Prama.

Jejak-jejak Makna II

Sejak zamannya Newton khususnya, apa yang disebut manusia sebagai realita dibatasi hanya pada hal-hal yang bisa dilihat dan dipegang. Tapi begitu muncul mekanika kuantum dan Albert Einstein, realita juga mencakup hal-hal yang tidak bisa dilihat dan tidak bisa dipegang. Salah satunya bernama energi. Dari sinilah muncul pencarian manusia yang jauh lebih dalam dari sekadar apa yang bisa dilihat mata biasa. Salah satu pilihan yang tersedia dalam hal ini adala mitologi. Mitos-mitos yang sangat tua. Ia berumur jauh lebih tua dari agama-agama.
 
Kendati di kalangan sebagian ilmuwan kata mitos sering diidentikkan dengan tahayul, atau sesuatu yang cenderung dianggap tidak benar, sebagian ilmuwan seperti Karen Armstrong menggunakan mitologi sebagai salah satu fondasi penting dalam berargumen. Dan begitu menyangkut mitologi, Joseph Campbell tidak memiliki tandingan dalam hal ini. Mahakaryanya yang berjudul The Power of Myth memiliki pengaruh yang sangat luas. Ia menyentuh pilosofi, psikologi, sejarah agama, fisika, sosiologi, antropologi. Perjalanannya sebagai ahli mitologi membuat Campbell menelusuri banyak tentang manusia yang ditokohkan (hero) di berbagai belahan dunia. Dalam beberapa hal, tokoh-tokoh ini mirip dengan konsep Tuhan di agama-agama. Yang sangat unik, di kawasan Nusantara ditemukan mitologi yang berumur sangat tua tentang Tokoh yang tanpa jenis kelamin. Alias bukan wanita bukan pria.

Pemaknaan terhadap mitos ini bisa bermacam-macam. Namun ia menjadi masukan kalau Nusantara ini dulunya adalah kawasan dengan energi yang sangat tinggi. Dalam bahasa spiritualitas mendalam, dualitas seperti wanita-pria, salah-benar, buruk-baik, membuat manusia tunduk pada hukum gravitasi (ditarik turun). Dan ketekunan untuk selalu menyaksikan melalui meditasi, sehingga bisa melampaui segala bentuk dualitas, membuat manusia bertumbuh sesuai hukum levitasi (diangkat naik).

Pekerjaan rumahnya kemudian, di zaman kita Nusantara memang ditarik turun oleh energi-energi rendah seperti kekerasan. Dan menjadi tugas roh-roh tua yang lahir di tempat ini untuk mengangkat kembali vibrasi energi tempat ini yang pernah sangat tinggi.

Penulis: Gede Prama.

Entri Populer