Seorang
sahabat yang sudah membaca ribuan judul buku, telah belajar ke manca
negara, berjumpa sejumlah tokoh kaliber dunia bercerita, ada saatnya
jiwa itu jenuh sekali dengan kegiatan belajar ke luar seperti membaca,
mendengarkan ceramah, belajar dari pengalaman orang lain. Pada saat yang
sama muncul kerinduan mendalam untuk belajar ke dalam.
Persisnya,
berguru pada Cahaya yang bersemayam di dalam. Meminjam salah satu pesan
indah Upanishad: “belajar apa-apa yang tidak bisa diajarkan”. Sejenis
cara belajar yang tidak kebayang bagi orang kebanyakan. Ia lebih sulit
lagi dimengerti oleh orang-orang yang sedikit-sedikit lari dari
kesulitan.
Namun, bagi jiwa-jiwa yang dalam, ini pilihan jalan
yang tidak bisa dihindari. Ia satu-satunya jalan yang tersedia kalau
seseorang mau perjalanan jiwanya dalam mengagumkan. Meminjam sebuah
ungkapan tua: “begitu muridnya siap, Guru akan datang”. Catatannya,
wajah Guru yang datang tidak seperti yang dibayangkan banyak orang.
Di
tingkatan ini, wajah Guru yang datang sebagian besar menyakitkan dan
menakutkan. Mungkin itu sebabnya, di tempat-tempat suci yang berbau
Tantra, simbol-simbol yang dipamerkan adalah simbol-simbol yang seram
dan menakutkan. Kalau jiwanya belum dewasa, jangan coba-coba memasuki
wilayah ini.
Sebagai pintu pembuka di jalan ini, kehidupan akan
ditandai oleh banyak kesulitan. Tidak saja sulit secara material, tapi
juga sulit secara spiritual. Dan semakin lama, kesulitan datang dari
orang yang semakin dekat. Dalam kadar yang semakin berat. Yang membuat
sang jalan lebih menantang, ia tidak memberi pilihan untuk lari menjauh.
Satu-satunya pilihan yang tersedia adalah dihadapi.
Ia bisa
muncul dalam bentuk anak bermasalah, pasangan hidup yang penuh musibah,
orang tua yang banyak maunya. Dan semakin lama beban itu tidak semakin
ringan. Sebaliknya semakin berat dan semakin berat. Sampai di suatu
titik, seseorang tidak punya pilihan lain selain bersahabat dekat dengan
kepasrahan dan keikhlasan. Anehnya, setelah didekap lembut dengan
keikhlasan, ada saja keajaiban yang datang sebagai penyelamat.
Jika
buku yang ditulis manusia ada bab terakhirnya yang membawa kesimpulan,
buku kehidupan yang ditulis Tuhan tidak mengenal bab terakhir. Tidak
juga mengenal kesimpulan terakhir. Yang ada adalah cobaan yang tidak
mengenal akhir. Itu sebabnya, bagi jiwa-jiwa yang dalam tidak ada waktu
yang sepenuhnya bebas dari cobaan dan godaan.
Meminjam dari
psikolog kondang Carl G. Jung, sejauh seseorang masih memiliki ruang
gelap di dalam (baca: sesuatu yang ditekan dan ditolak), sejauh itu juga
yang bersangkutan akan diikuti oleh bayangan ke mana saja ia pergi. Ia
bisa orang yang membenci, mencaci, menyerang, menjatuhkan, serta
mendorong jiwa agar masuk jurang.
Anehnya, mirip dengan
menghindari bayangan sendiri, semakin cobaan itu dihindari, ia akan
semakin mengejar. Di tingkat seperti itu, seorang pencari tidak punya
pilihan lain selain bersahabat dekat dengan keikhlasan. Di Tantra, ia
disebut bakti yang mendalam kepada Guru. Jangankan nama baik dan
reputasi, bahkan nyawa ini pun kalau mau diambil dipersembahkan kepada
Guru.
Di Buddha ada cerita bercahaya Jetsun Milarepa yang
menyerahkan nyawanya pada Gurunya Marpa. Di Hindu ada kisah indah
Mahatma Gandhi, yang tatkala tubuhnya ditembus peluru panas, beliau
memanggil nama Guru: “Shri Ram, Shri Ram…”. Begitulah perjalanan
jiwa-jiwa yang dalam. Guru bisa menyamar dengan berbagai wajah. Dari
sangat menakutkan sampai sangat menyenangkan.